Thursday, October 27, 2011

Rimbawan Menulis di Media Massa? Siapa Takut!

Apakah anda berminat menulis di media massa?
Setelah mengikuti kuliah Komunikasi Informasi Kehutanan, saya terpacu untuk sekedar menampilkan tulisan saya di media yang dibaca banyak kalangan, koran misalnya. Untuk menjamin agar tulisan kita bagus, tentu tidak boleh sembarangan. Agar bisa meminimalisir kegagalan, barangkali belajar dengan orang yang berpengalaman bukan ide yang buruk.

Saya sendiri mencoba bertanya kepada salah satu dosen lulusan PhD di Gottingen, Jerman. Kebetulan saya googling ternyata cukup banyak tulisan beliau di media massa, beliau adalah Pak Ahmad Maryudi. Terutama untuk mahasiswa Fakultas Kehutanan, nampaknya tips-tips berikut akan sangat bermanfaat. Berikut adalah tips-tips yang beliau berikan:

1. isu kehutanan relatif tidak begitu menarik bagi media. hanya beberapa yg punya kepedulian, terutama Jakarta Post dan Jakarta Globe.
Kecuali jika isu kehutanan tersebut digabung dg isu yg lebih luas, misal climate change, ketahanan pangan. Isu sawit disini mgkn bisa masuk jika digabung dg climate change dan/ atau food security. media lain yg mgkn mengcover isu sawit antara lain Kompas, Media Indonesia, Republika. Media lokal jelas tidak akan tertarik.
2. media punya bahasa yg berbeda dg bahasa ilmiah.tentunya bahasa populer yg diinginkan
3. dari judul, pembaca sudah bisa menduga alurnya
4. paragraf pertama biasanya langsung pada pokok permasalahan yg akan diulas. Disini penulis sudah menunjukkan "posisi"nya.
5. data akan sangat mendukung. Tidak perlu referensi. cukup misalnya, "sebuah studi dari FAO menyatakan bahwa..." dan lain sebagainya
6. paragrap terakhir jelas kesimpulan, disini biasanya penulis jg menpunyai "tawaran-tawaran solusi". tapi ini tidak harus spt itu.
7. banyak-banyaklah baca opini..kita akan banyak belajar disitu.

Sekian post kali ini. Semoga bermanfaat.


Saturday, October 22, 2011

Eksotisme Arboreteum "Hutan Mini Pardiyan" dan Burung-burungnya


Selama ini hutan identik dengan pohon-pohon rimbun yang berada di daerah pinggiran kota atau pedesaan. Banyak orang yang takut ke hutan karena dalam pikiran mereka hutan adalah daerah yang jarang dijamah manusia, banyak ularnya, ada penunggunya, dan juga nyamuk-nyamuk yang terkenal ganas. 


Menurut yang saya pahami, hutan merupakan bentuk dari asosiasi antara flora dan fauna yang saling berinteraksi dan membentuk iklim mikro yang berbeda dengan iklim di luarnya. Hutan biasanya merupakan area yang luas dan memang jarang berada di tengah kota. Namun bagaiman jika hutan berada di tengah kota?


Itulah yang bisa kita temukan di salah satu sudut kampus Universitas Gadjah Mada di kawasan Bulaksumur, Sleman. Hutan ini dinamakan dengan sebutan Arboreteum Pardiyan atau Arboreteum "Hutan Mini Pardiyan". Menurut keterangan salah seorang dosen kehutanan, arboreteum menjadi seperti saat ini terjadi karena ketidaksengajaan. Awalnya dosen-dosen sering menanami lahan-lahan itu dengan benih-benih yang berhasil diperoleh dari suatu daerah, hingga lama kelamaan tanaman menjadi semakin besar dan terlihat seperti  sekarang ini.


Pohon-pohon yang ada di dalamnya terdiri dari banyak spesies, di antaranya adalah trembesi, hopea, kesambi, ketapang, pterigota, flamboyan, kecrutan, eboni, nangka, pinus, meranti, ampupu, keruing,cemara, randu, dan lainnya. Ada spesies yang  mendominasi dan menyebar dengan sangat cepat yaitu pterigota (Pterygota alata). Ukuran pohon di arboreteum bervariasi, diameter yang besar bisa mencapai 1 meter lebih, dan yang tertinggi bisa sampai 40 meter. Setiap tahunnya, saat mahasiswa baru Fakultas Kehutanan masuk, selalu dilakukan penanaman di hutan ini. Pengelolaan di hutan ini sendiri nampaknya tidak ada, barangkali hutan ini diurus jika ada pohon yang tumbang ke jalan dan tempat parkir saja. 


Keberadaan hutan di tengah kota merupakan satu hal yang positif. Di tengah hiruk pikuk kota dengan polusi-polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor, hutan bisa membantu menyerap polusi-polusi tersebut dan menjadikan udara terasa lebih segar oleh oksigen yang dihasilkannya. Selain itu, keunikan bisa kita jumpai saat mendongakkan kepala ke atas. Kita akan melihat sekelompok burung yang bertengger atau beterbangan di atasnya. Burung-burung ini awalnya bukan tinggal di Arboreteum Pardiyan. Kemungkinan terjadi kerusakan pada habitat aslinya, sehingga mereka harus bermigrasi dan Arboreteum menjadi pilihan yang cocok. 


Berdasarkan apa yang saya lihat, ada beberapa spesies yang bersarang di sini. Hal ini menjadikan daya tarik sekaligus keresahan, karena populasinya yang sangat banyak yang berakibat menimbulkan bau tak sedap dari kotorannya. Saat memasuki arboreteum, bau amoniak persis seperti jika kita memasuki pabrik amoniak akan tercium jika memasuki kawasan arboreteum. Sudah dilakukan beberapa tindakan untuk mengurangi populasi mereka, namun tetap saja jumlah mereka masih banyak. Tidak adanya predator alami bisa jadi menjadi salah satu penyebabnya. Masih diperlukan solusi yang jitu untuk mengatasi permasalahan ini. Mungkin jika burung-burung itu bisa berbicara, mereka akan berkata:"Apakah salah jika kami hanya ingin menjadikan Arboreteum Pardiyan sebagai rumah kami?"


Arboreteum ini juga sering menjadi tempat penelitian dan praktikum bagi mahasiswa, termasuk di antaranya skripsi-skripsi mahasiswa. Oleh karena itu, selain jasa ekologis, arboreteum juga sudah membantu pengembangan IPTEKS terutama dalam bidang kehutanan. Tentunya menjadi harapan kita bersama agar arboreteum ini jangan sampai dimusnahkan hanya karena kepentingan-kepentingan jangka pendek. Minimal seluruh civitas akademika memiliki mindset yang sama tentang pentingnya keberadaan arboreteum.


Berikut ini saya sajikan beberapa gambar yang berhasil yang saya peroleh dari arboreteum:




Buah saga











terlihat kendaraan bermotor

Kotoran-kotoran burung
Sarang burung

Pterygota alata, spesies yang cukup mendominasi di arboreteum





Sumber Foto: koleksi pribadi

Saturday, October 1, 2011

Penerapan RIL (Reduced Impact Logging) dan Pemilihan Sistem Silvikultur yang Tepat dalam Pengelolaan Hutan Lestari

Oleh: Hairi Cipta*

Manusia banyak menggantungkan hidupnya dari hutan. Hutan dapat menciptakan manfaat langsung maupun menunjang manfaat tak langsung. Manfaat langsung antara lain adalah kayu bakar, industri kayu, buah/biji/makanan, kayu pertukangan lokal, pakan ternak, konservasi/kesuburan tanah , keseimbangan atmosfir, tata air, dan satwa liar. Sedangkan manfaat tak langsung dari hutan misalnya usaha pedesaan, sarana prasarana desa, riset biologi, teknologi genetika, teknologi pedesaan, dan kesempatan kerja (Palin 1980 dalam Purwanto, 2011). Oleh karena itu kelestarian hutan sangat penting, baik kelestarian hasil maupun kelestarian ekosistem.

Pengelolaan hutan lestari saat ini menjadi topik yang semakin sering diperbincangkan. Kesadaran manusia yang semakin meningkat melahirkan pemikiran-pemikiran yang bertujuan untuk menyelamatkan hutan dari kerusakan yang semakin parah. Pengelolaan hutan lestari dapat didefinisikan sebagai suatu upaya pemanfaatan fungsi hutan dalam memenuhi berbagai kebutuhan saat ini melalui pemeliharaan daya dukung dan kesehatan hutan tanpa mengabaikan kemampuan dari hutan tersebut untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang (Purwanto, 2011). Ada tiga syarat terwujudnya kelestarian antara lain adalah (Simon, 1995 dalam Simon, 2010):
1.      Adanya batas kawasan hutan yang tetap dan diakui oleh semua pihak
2.      Adanya sistem silvikultur yang menjamin terlaksananya permudaan hutan yang mesti berhasil.
3.      Penentuan etat tebangan yang menjamin terwujudnya kelestarian hasil kayu.

Kelestarian bukan istilah yang baru di bidang kehutanan. Von Carlowitz telah menulis konsep kelestarian hasil pada tahun 1713 (Wiebecke dan Peters,1984 dalam Simon, 2010). Bahkan jauh sebelum itu,di Jerman pada abad ke-9 telah muncul wacana “asas kelestarian hasil” yang bermanfaat besar untuk menghindari kerusakan hutan secara total. Konsep kelestarian pun menjadi semakin berkembang hingga saat ini.

Hutan bisa dikatakan telah dikelola secara lestari jika memenuhi kriteria dan indikator tertentu yang telah disepakati. Contohnya ada proses Helsinki, Montreal, dan di Indonesia ada Keputusan Menteri Kehutanan No.4795 /KPTS-II/2002II/2002 tentang Kriteria dan  Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari Pada  Unit Pengelolaan.

Menurut Keputusan Menteri tersebut kriteria dan indikator memiliki definisi sebagai berikut:
 Kriteria adalah suatu aspek yang dipandang penting untuk memungkinkan penilaian atas pengelolaan hutan alam produksi lestari.  Suatu kriteria diikuti oleh serangkaian indikator yang berkaitan.
Indikator adalah atribut kuantitatif dan atau kualitatif dan atau deskriptif yang apabila diukur atau dipantau secara periodik menunjukkan arah perubahan

Pemanenan Hasil Hutan

  Pemanenan hasil hutan merupakan satu bagian dari kegiatan pengelolaan hutan. Pemanenan hasil hutan dapat diartikan sebagai kegiatan mengeluarkan atau memindahkan hasil hutan dari dalam areal hutan ke konsumen atau ke industri pengolahan hasil hutan (Dykstra dan Heinrich, 1992 dalam Supriyatno dan Haryanto, 2009) Pemanenan yang secara kasarnya kita lihat sebagai sebuah perusakan dari ekosistem hutan menjadi sorotan banyak pihak. Hal ini menjadikan pemanenan hasil hutan mendapat sorotan tajam dari banyak pihak. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam, antara lain mengakibatkan kerusakan tanah dan vegetasi hutan, termasuk anakan dan permudaan alam yang akan mengancam kelestarian hutan (Muhdi, 2008).

Penebangan dengan alat berat
Manusia melakukan pemanenan hasil hutan dengan beberapa tujuan (Supriyatno dan Haryanto, 2009):
Pertama, mendapatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Hal ini umumnya dilakukan terhadap jenis tertentu, ukuran, kualitas , dan jumlah yang dapat dilakukan setiap tahun (Simon, 2010).
Kedua, meningkatkan produktivitas. Saat tegakan hutan sudah tua maka riapnya menjadi semakin rendah.
Ketiga, regenerasi hutan.
Keempat, penyelamatan. Terutama untuk tegakan-tegakan yang rawan bencana dan illegal logging

Hutan memiliki kemampuan regenerasi yang baik. Sehingga meskipun mengalami kerusakan atau dipanen, hutan akan pulih dengan sendirinya. Hal inilah yang menjadi keunggulan hutan, yang berbeda dengan sumber daya alam yang lain. Sayangnya, kemampuan regenerasi hutan akan menurun jika kerusakan dan pemanenan yang terjadi melebihi daya dukung hutan. Akibatnya hutan tidak bisa pulih seperti sedia kala untuk menjalankan kembali fungsinya, ditambah lagi konversi lahan hutan yang gundul menjadi lahan pertanian, pemukiman, perkantoran, pembukaan lahan tambang dan lain-lain akan semakin mengurangi luas lahan hutan.

Kegiatan-kegiatan dalam pemanenan hasil hutan yang berpotensi menimbulkan dampak yang merusak adalah penebangan, penyaradan, dan pengangkutan.

Penebangan dapat membuat pohon, semai, tumbuhan bawah mati karena tertindih pohon. Selain itu penebangan juga membuat beberapa jenis satwa kehilangan tempat bersarang. Hilangnya pohon akan menyebabkan tanah hutan menjadi kosong dan menjadi berisiko tergerus erosi. Erosi tidak hanya memindahkan material tanah namun juga unsur-unsur hara dan zat organik yang penting kelangsungan hidup tanaman hutan. Penebangan yang dilakukan secara besar-besaran dalam kawasan yang luas akan menyebabkan keadaan semakin buruk. Sisa-sisa seresah bekas penebangan yang ditinggal di lokasi penebangan juga dapat menghalangi tumbuhnya anakan-anakan baru dan juga berisiko menyebabkan kebakaran hutan.
Penyaradan dan pengangkutan membuat tanah hutan menjadi lebih padat. Pemadatan tanah dapat menyebabkan kecepatan air meresap tanah menjadi berkurang, selain itu tanaman juga tidak dapat tumbuh di atas tanah yang padat. Pengangkutan mengharuskan adanya pembukaan jalan untuk dilalui kendaraan yang mengangkut kayu/hasil hutan ke tempat pengolahan. Pembukaan jalan mengharuskan adanya pengerukan, penebangan pohon, pemadatan jalan, penimbunan jalan. Semua kegiatan ini menyebabkan areal hutan yang rusak menjadi semakin luas dan dapat menyebabkan kelestarian hasil dan ekosistem tidak tercapai.

Pemanenan Hasil Hutan dengan Menerapkan Pengelolaan Hutan Lestari

Pengelolaan hutan lestari didasarkan pada metode yang tidak membahayakan  pemanenan hasil hutan atau manfaat jasa lingkungan masa depan. Meskipun kelestarian secara keseluruhan tidak terbukti, penerapan praktek-praktek pengelolaan hutan yang baik tidak dapat dipungkiri membantu mempertahankan nilai hutan sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya, sekaligus membantu untuk memelihara keanekaragaman hayati dan melindungi fungsi ekosistem DAS dan lainnya (Putz, 1994)

Penerapan Reduced Impact Logging (RIL)

 Masyarakat dunia telah menyatakan diri untuk mencapai  suatu pengelolaan hutan yang lestari, yaitu pengelolaan yang menyeimbangkan tujuan-tujuan produksi dengan tujuan lingkungan dan sosial. Dalam dunia pemanenan hutan, pencapaian pengelolaan hutan yang lestari memerlukan suatu kegiatan yang bertanggung jawab secara lingkungan dari sinilah muncul ketertarikan terhadap Pembalakan Berdampak Rendah (RIL) (Chipeta dalam Elias dkk, 2001)

RIL atau pembalakan berdampak rendah merupakan praktek yang penting untuk mengurangi dampak buruk pemanenan terhadap hutan. Pemanenan memang tidak dapat benar-benar dihilangkan risikonya,tetapi masih dapat dikurangi.

Pedoman RIL Indonesia sudah ada yang menerbitkan, misalnya oleh CIFOR (Center for International Forest Research). Pedoman ini berisi standar-standar dan kegiatan yang harus dilakukan saat perencanaan dan pelaksanaan pemanenan di hutan alam, alasan kegiatan tertentu harus dilakukan, mekanisme untuk menerapkan standar-standar di lapangan,  dan cara mengerjakan pekerjaan tersebut. Dalam pedoman ini, RIL diartikan sebagai suatu pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pemanenan kayu.

Pelaksanaan RIL dapat berdampak baik terhadap hutan dan dapat menunjang pengelolaan hutan lestari. Hal yang perlu menjadi catatan bersama adalah bagaimana agar RIL bisa dilaksanakan dengan kesadaran dari setiap pengelola hutan, terutama mengenai keuntungan yang bisa didapat dari pelaksanaan RIL baik secara ekologi maupun ekonomi.

Peran Sistem ilvikultur dalam mengurangi dampak buruk pemanenan

Sebelum melakukan pemanenan bahkan sebelum merencanakan pengelolaan hutan, pertimbangan sistem silvikultur menjadi hal penting yang harus dilakukan. Sistem Silvikultur adalah suatu proses yang mengikuti prinsip-prinsip silvikultur yang telah diterima, bagaimana pohon-pohon penyusun hutan dipelihara (pembersihan gulma, pembersihan, tebangan perbaikan dan penjarangan), dipanen, dan diganti dengan tanaman baru (Daniel dkk, 1979 dalam Hardiwinoto dkk, 2005). Secara keseluruhan sistem silvikultur mencakup tiga fase komponen perlakuan dasar atau fungsi, yaitu regenerasi (permudaan), pemeliharaan, dan pemanenan (Nyland, 1996 dalam Hardiwinoto dkk, 2005).
Sistem silvikultur tidak hanya ada satu jenis. Sistem silvikultur harus disesuaikan dengan tujuan pengelolaan hutan dan karakteristik hutan tersebut. Di Indonesia dikenal sistem silvikultur tebang pilih, sistem tebang parsial (Seed-Tree dan Shelterwood), dan sistem tebang habis. Berikut penjelasan singkat dari ketiga sistem silvikultur tersebut (Hardiwinoto dkk,2005) :
  1. Sistem tebang pilih dimaksudkan untuk digunakan untuk membangun dan mengelola tegakan tidak seumur. Tegakan tidak seumur dicirikan dengan adanya perbedaan yang nyata dalam umur dan ukuran dari pohon-pohon penyusun tegakan tersebut
  2. Sistem tebang parsial (Seed-Tree dan Shelterwood) adalah cara permudaan yang tetap membiarkan sejumlah pohon untuk tidak ditebang tetapi justru dipelihara di dalam tegakan tua dengan tujuan agar terbentuk tegakan baru.
  3. Sistem tebang habis adalah sistem penebangan yang dilakukan terhadap semua vegetasi yang ada di dalam tegakan tua dalam waktu yang relatif singkat pada saat tegakan telah mencapai daur.


Di Kanada juga hampir sama, umumnya sistem silvikultur di sana terdiri dari sistem tebang habis, sistem  shelterwood, dan sistem seleksi.

Menurut Nyland (1996 dalam Hardiwinoto dkk, 2005) kriteria sistem silvikultur yang baik adalah optimalisasi hasil panen, peningkatan kualitas pohon dan tegakan, pemendekan periode investasi, minimalisasi investasi, pelestarian ekosistem dan produktivitasnya. Selain itu sistem silvikultur yang baik juga harus memperhatikan kelestarian hasil hutan non kayu (non wood products) seperti (Hardiwinoto dkk, 2005):
a.       peningkatan tapak dan ekosistem
b.      menyetabilkan tanah dan pencegahan erosi
c.       pengawetan populasi asli dari serangga, jamur, dan mikroorganisme penting
d.      peningkatan habitat untuk binatang liar dan tumbuhan asli
e.       peningkatan hasil air, kualitas air, dan jaminan habitat yang sesuai bagi ikan-ikan asli
f.       menghasilkan makanan dan habitat bagi ternak yang dipelihara
g.      peningkatan kualitas pemandangan bentang alam dan menciptakan kesempatan yang lebih baik bagi terselenggaranya kegiatan wisata alam

Pemilihan sistem silvikultur yang tepat merupakan aspek yang penting dalam pengelolaan dan pembangunan hutan agar tetap terjaga kelestariannya. Penilaian karakteristik hutan akan membantu kita dalam menentukan sistem silvikutur yang tepat. Penerapan sistem silvikultur tidak hanya membantu kita dalam menjaga ekosistem hutan namun juga dapat mengoptimalkan keuntungan finansial.

Ancaman bagi kelestarian hutan bukan lagi sebuah wacana. Tantangan untuk generasi saat ini adalah mengupayakan agar kelestarian hutan tetap terjaga untuk kehidupan saat ini dan kehidupan yang datang. Ketidakpeduliaan terhadap kelestarian hutan tidak hanya akan membuat generasi masa depan tidak bisa menikmati manfaat hutan, namun generasi saat ini pun juga akan terancam. Kunci utama yang harus dipegang oleh khususnya setiap pengelola hutan dan secara umum seluruh penghuni bumi adalah solusi apapun tidak memberikan hasil yang nyata dalam upaya menjaga kelestarian hutan jika tidak upaya untuk melaksanakan dan menerapkannya sebaik mungkin. Termasuk juga RIL dan sistem silvikultur yang tepat, perlu sinergi yang baik dari setiap stakeholder dan penyamaan persepsi untuk mengutamakan kelestarian hutan di atas kepentingan-kepentingan yang lain.


*Mahasiswa bagian Teknologi Hasil Hutan, Universitas Gadjah Mada (NIM.09/285759/KT/06612)


Daftar Pustaka

Elias. Applegate, G. Kartawinata, K. Machfudh. Klassen, Art. 2001. Pedoman Reduced Impact Logging Indonesia. CIFOR, Bogor
Hardiwinoto, Suryo. Priyatno, S.D.A. Adriana. Widyatno. 2005. Buku Ajar Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada
Muhdi. 2008. Dinamika Permudaan Alam Akibat  Pemanenan Kayu dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas  Sumatera Utara
Putz, F.E. 1994. Approaches to Sustainable Forest Management. CIFOR, Bogor
Simon, Hasanu. 2010. Perencanaan Pembangunan Sumber Daya Hutan Jilid 1A Timber Management. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Supriyatno, N. Haryanto. 2009. Buku Ajar Pemanenan Hasil Hutan. Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Kunjungan Industri #2 Produk Alam, Siapa Takut?

Kunjungan Industri #2 Produk Alam, Siapa Takut?
HMM (Himpunan Mahasiswa Minat) Forestech akan kembali mengadakan even yang sayang sekali jika kamu lewatkan. Terutama untuk mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM angkatan 2010 dan 2011.


Even Kunjungan Industri #2 yang bertema Produk Alam, Siapa Takut? yang akan diselenggarakan pada hari Sabtu tanggal 8 Oktober 2011. Lokasi menarik yang akan dituju ada 2, yaitu:
  • Industri Mebel dan Kerajinan Bambu DHELING ASRI, Cebongan, Mlati, Sleman
  • Rumah Kebun Jamur UD USAHA KEMITRAAN SEJAHTERA, Jalan Magelang km 10, Tridadi Sleman
Even ini bisa  dibilang sebagai Jalan-jalan Ilmiah. Setelah rutinitas kuliah alangkah menyenangkan jika bisa menyegarkan pikiran dengan jalan-jalan, sekaligus menambah teman, pengalaman dan pengetahuan.

Manfaat lain yang bisa didapat, kita bisa tahu bagaimana industri bisa berkembang, bagaimana memulainya, dan seperti apa kontribusi yang seharusnya kita berikan sebagai mahasiswa. Hal ini tentu saja dapat menjadi sumber inspirasi, apalagi jika dari awal kamu sudah berniat menjadi Enterpreneur. 

Sebelumnya Forestech sukses menyelenggarakan Industrial Visit 2011 (Kunjungan Industri #1) yang  mengambil rute Yogyakarta-Pabrik Kayu Lapis dan Pabrik Gondorukem di Wonosobo-Balai Diklat Kehutanan Kadipaten-Industri Mebel Rotan di Cirebon-Pabrik Kertas Pindo Deli Karawang-Kementerian Kehutanan-Kembali Yogyakarta. Berikut foto-foto saat Industrial Visit 2011:
Industrial Visit 2011 (Kunjungan Industri #1)
di Industri Rotan Cirebon

Industrial Visit 2011 (Kunjungan Industri #1)
di Pabrik Kertas Pindo Deli, Karawang
Industrial Visit 2011 (Kunjungan Industri #1)
Saat gila-gilaan menunggu syuting di Acara Kick Andy, Metro TV
Seru-seru kan?

Pendaftaran Kunjungan Industri #2 sudah dimulai dan akan ditutup pada hari Kamis 6 Oktober 2011 dan akan dilaksanakan briefing pada hari Jumat tanggal 7 Oktober 2011. Bagi kamu yang berminat dapat menghubungi Hanan (085328486015) atau Rupita (085643362970), dan dapat juga langsung datang ke Laboratorium Pengeringan Kayu Lantai 2 Gedung Baru FKT pada hari dan jam kerja.

Tunggu apa lagi?