Friday, December 30, 2011

KMIK dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Jabal Akbar Noor
 Jika anda bertanya organisasi apa yang saya incar pertama kali saat mendapat status mahasiswa, saya akan menjawab KMIK. Apa itu KMIK?

Ada yang menyebutnya ka-em-i-ka dan ada juga yang menyebut ke-mik. Tapi bagaimanapun orang menyebutnya, KMIK tetaplah singkatan dari Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan. KMIK adalah sebuah organisasi yang mewadahi mahasiswa-mahasiswa untuk melaksanakan salah satu aktivitas mulia, yaitu berdakwah. Amar ma'ruf nahi munkar

Tak seperti organisasi yang lain, kata "keluarga" telah memberikan suasana yang penuh kesejukan dalam organisasi ini. Ucapan salam dan senyum selalu hadir saat saling bertemu dengan sahabat KMIK yang lain. Tentu saja tak lupa menularkan kebiasaan baik ke teman-teman yang lain, amar ma'ruf nahi munkar.

Ashar
Kita pasti pernah menyaksikan orang tua yang melarang anaknya makan es krim ketika si anak terserang flu. Si anak biasanya akan merengek kepada ibunya, namun sang ibu tetap bersikukuh melarangnya makan es krim. Peristiwa ini mirip dengan budaya saling mengingatkan dan menasihati di dalam KMIK. Saat kita melarang kita melakukan hal yang kita senangi, misal main game, pasti timbul rasa tidak senang di hati kita yang mirip dengan si anak ketika dia dilarang makan es krim. Namun satu hal yang perlu kita pahami, apa makna di balik nasihat itu? Ternyata di balik nasihat itu ada sebuah keinginan untuk menghindarkan kita dari bahaya, sama dengan sang ibu yang tidak ingin sakit flu anaknya bertambah parah. Itulah indahnya amar ma'ruf nahi munkar

Nuansa kekeluargaan di dalam KMIK telah memberikan kesan tersendiri bagi saya dan sahabat-sahabat yang pernah bergabung dalam organisasi ini. Kesan itu kadang dapat membuat saya tersenyum dan terharu. Nikmatnya berbagi amat dirasakan oleh sahabat KMIK yang sebagian besar adalah perantau yang ingin menuntut ilmu. Kesepian dan kesendirian selama tinggal di Jogja selalu bisa terobati oleh senyuman dan tawa dari teman-teman yang baik hatinya. Di balik kesan itu terdapat amar ma'ruf nahi munkar.


Seimbang itu perlu. Otak cerdas dengan spiritual dan keimanan yang cetek hanya akan sedikit bermanfaat di alam dunia dan tak ada artinya lagi ketika kita harus meninggalkan dunia yang fana ini. Sahabat KMIK tidak hanya diajak untuk berorganisasi tetapi di balik itu terdapat tujuan lain yang lebih mulia, yaitu ridho Allah. Sahabat KMIK yang diamanahi untuk menuntut ilmu oleh orang tuanya selalu diingatkan agar tidak menganggap remeh perkara agama. Sahabat KMIK akan dimotivasi untuk menjadi yang berprestasi dan tetap menjalankan perintah Allah dengan baik. Hal ini akan membuat sahabat KMIK tetap berada pada koridor yang benar untuk mencapai tidho Allah. Semua terus belajar dan tetap berlomba-lomba dalam amar ma'ruf nahi munkar.

Satu kepengurusan KMIK kembali dilewati dengan terpilihnya sang mas'ul baru. Suka dan duka selama 1 tahun telah dilalui oleh para pengurus harian sebelumnya, yaitu kabinet Green Muslim yang dinakhodai Ashar bersama Ahmad, Arif, Agung, Rizmoon, Nofa (yang telah lama tak terdengar kabarnya), Eka, Tazkiya, Riani, Uma, dan Nuri. Semua memiliki satu tujuan yang sama dan akan tetap dilakukan walaupun tidak menjadi pengurus harian lagi, amar ma'ruf nahi munkar. 

Mas'ul baru itu bernama Jabal Akbar Noor atau biasa disapa Akbar. Dia akan mengambil alih kemudi KMIK   agar KMIK tidak kehilangan arah dan momentum untuk berlayar di atas samudera dakwah. Sebuah amanah besar yang diberikan oleh sahabat-sahabat KMIK tentu tak bisa ditopang sendiri oleh Akbar. Semua harus berpangku tangan agar perjalanan yang tak selalu ramah ini bisa dilalui dengan gemilang dan happy ending. Mari bersama KMIK kita laksanakan amar ma'ruf nahi munkar. 

Wallahu'alam bis shawab (catrim)




Monday, December 19, 2011

Terpilihnya Ahmad Karsidi sebagai Presiden IFSA LC UGM



IFSA (International Forestry Student's Association) adalah jaringan global untuk mahasiswa kehutanan. Asosiasi ini menyatukan sekitar 3000 mahasiswa kehutanan di sekitar 73 Local committe (LC) atau asosiasi member di lebih dari 54 negara. IFSA adalah organisasi non pemerintah, nirlaba, dan non relijius, sepenuhnya dijalankan oleh mahasiswa untuk mahasiswa.


IFSA juga ada di universitas-universitas di Indonesia, salah satunya adalah UGM. Di UGM, IFSA berada d Fakultas Kehutanan dan disebut IFSA LC UGM. Saat ini para member IFSA LC UGM cukup aktif dalam pertemuan-pertemuan di kancah internasional, sebut saja Finlandia, Jepang, Thailand, Korea Selatan, dan lain-lain, sudah pernah mereka sambangi.


Kepengurusan IFSA 2010-2011 dengan presiden Amalia Anindia Syarief, mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan 2008, telah berakhir. Kali ini estafet kepemimpinan telah beralih ke Ahmad Karsidi (Teknologi Hasil Hutan 2009). Kemarin (18/12), sidang umum IFSA telah memutuskan bahwa presiden IFSA LC UGM untuk periode 2011-2012 adalah Ahmad Karsidi.


Ahmad Karsidi atau yang sering disapa Didik memiliki track record yang baik selama berkecimpung di IFSA. Dia sudah dua kali ke luar negeri untuk menghadiri pertemuan-pertemuan LC IFSA. Selain itu dia juga sering menghadiri pertemuan-pertemuan internasional yang diadakan di Indonesia. Jadi, untuk kapabilitas Didik tidak perlu diragukan lagi.



Pengalamannya mewakili delegasi UGM  berawal di Seoul, Korea Selatan untuk mengikuti  IFSS (International Forestry Student's Symposium) dan IUFRO World Congress 2010. Sedangkan pengalaman kedua saat mengikuti Asian Regional Meeting (ARM) IFSA di Kyoto, Jepang. Berikut paper pertama yang dia bawakan  saat mengikuti seleksi untuk menjadi delegasi IFSA LC UGM ke Korea Selatan:


The Role of Forest Ecology(Forestry Education)  
By entering the advanced of global era, the development of forestry growth rapidly. Not only bounded in domestic area, but also take a role in global part. Now days environment issues has become a hot topic to talk and it makes forest in front position as a future hope gene to look for a solution. But in developing process,its not easy to realize. In the fact,environment problem mostly caused by decreasing forest field with developing of infrastructure rate for developing country....  selengkapnya
Paper ini sudah pernah dimuat di dalam Catatan Rimbawan pada 26 Februari 2010


Selain telah terpilih sebagai presiden IFSA LC UGM, Didik juga masih menjabat ketua sub komisi CBD (Convention on Biodiversity) dalam International Processes Commission IFSA. Kesibukannya tidak membuat prestasinya di kampus menjadi buruk. Dia bisa mengelola waktunya dengan baik, mulai dari kuliah, les bahasa inggris, ibadah, dan organisasi.


Perjalanan panjang pria asal Lombok ini tidak sia-sia. Keputusannya memilih jurusan Teknologi Hasil Hutan (Fakultas Kehutanan UGM) merupakan pilihan yang tepat, meskipun harus rela melepaskan statusnya sebagai mahasiswa Teknik Sipil di Universitas Diponegoro, Semarang.


Perjalanan Didik baru dimulai sekarang. Kita semua ingin agar amanah yang dia emban saat ini bisa membuat isu-isu kehutanan di Indonesia bisa diangkat di kancah internasional. Isu-isu kehutanan Indonesia tidak saja masalah kita, namun juga sudah menjadi masalah global. (catrim)


Sunday, December 18, 2011

Mengapa Harus Menyontek?

Kehidupan kampus bukan hal asing lagi bagi saya. Saya sudah hampir merampungkan 5 semester dan sudah bisa dibilang saya sudah melewati setengah jalan perjuangan. 

Kehidupan kampus begitu diidamkan-idamkan oleh para siswa yang yang sudah menginjak tahun terakhir di SMA. Mereka berkutat pada latihan-latihan soal ujian masuk perguruan tinggi, demi impian memasuki perguruan-perguruan tinggi favorit untuk meniti jalan meraih impiannya masing-masing. Walaupun hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa mendapatkan kesempatan ini. Banyak dari mereka yang harus puas dengan ijazah SMA karena berbagai kendala. 

Saya sudah cukup banyak mengecap manis dan pahitnya kehidupan di kampus. Proses untuk mendapatkan ilmu ternyata tidaklah cukup hanya dengan kemauan, namun dibutuhkan landasan kuat, untuk apa kita menuntut ilmu? Hanya sekedar untuk peningkatan taraf hidup (biasanya diukur dengan materi) atau ada keinginan yang kuat sebagai tugas dari Sang Pencipta Allah SWT yang mewajibkan kita menuntut ilmu dan mengamalkannya di kehidupan kita.

Rasanya sulit mencari mahasiswa yang menganggap menuntut ilmu merupakan kewajiban yang bukan sekedar siklus hidup atau untuk prestis semata. Barangkali hal ini disebabkan oleh adanya pergeseran pemahaman mengenai urgensi menuntut ilmu. Saat ini, yang terjadi bukannya berlomba-lomba untuk mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya melainkan yang ada hanyalah penghambaan terhadap nilai.  Mahasiswa lebih mementingkan hasil daripada sebuah proses.

Fakta di lapangan menunjukkan,  bahwa untuk mendapatkan nilai yang baik ternyata tidak hanya dilalui dengan cara belajar dengan sungguh-sungguh. Melainkan ada "jalan pintas"agar nilai yang "baik" bisa didapatkan. Apa itu?

Ujian yang seharusnya dijadikan sebagai bahan evaluasi kemampuan kita malah menjadi sesuatu yang kurang menarik ketika semuanya dilalui dengan jalan kecurangan. Ada kesedihan ketika melihat sahabat-sahabat mahasiswa banyak yang memilih jalan pintas agar nilainya baik. Sayangnya bukan "Jalan Pintas yang dianggap Pantas" tetapi jalan pintas yang membawa pada kenikmatan sesaat namun akan membawa kesengsaraan besar nantinya, jalan pintas itu adalah menyontek.

Kasus nyata saya temukan saat responsi  suatu praktikum. Responsi bisa dikatakan sebagai alat untuk mengetahui seberapa baik pemahaman praktikan mengenai praktikum yang telah dilalui selama hampir satu semester ini.  Responsi praktikum yang diadakan kemarin (17/12) membuat saya sedikit prihatin dengan keadaan mahasiswa saat ini. Mereka baru menginjak tahun pertama namun masih terus melaksanakan tradisi buruk yang sudah berlaku secara turun temurun di republik ini. Soal yang diberikan pada responsi ini berupa slide , di mana waktu pengerjaan setiap soal berkisar antara 45-50 detik. Punishment berupa pengurangan waktu  untuk semua peserta responsi setiap ada yang menunjukan gelagat ingin menyontek sudah dilakukan. Bahkan pengawasan pun sudah sedemikian ketat. Namun masih saja ada yang menoleh ke kiri dan ke kanan, di mana kesadaran kolektif mereka? Mereka bahkan rela mengorbankan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Saya tidak menggeneralisir, masih banyak juga yang berusaha mengerjakan sendiri.

Sungguh aneh, larangan menyontek sudah dikoar-koarkan sejak kita masih duduk di bangku SD hingga SMA. Saya yakin sebagian besar guru mendidik murid-muridnya untuk tidak menyontek dalam mengerjakan PR, tugas, ataupun ujian. apa yang membuat tradisi ini bisa terus menjalar dari generasi ke generasi dan seakan-akan melekat pada siswa? Entah mengapa di universitas perilaku ini pun masih menjamur. Larangan dengan mengatakan "Jangan mnyontek!" sudah tidak mempan lagi untuk menghadapi perilaku buruk ini. Keinginan menyontek biasanya bisa dipadamkan dengan pengawasan ketat namun ketika pengawasan itu kendur keinginan menyontek itu kembali muncul. Seperti iklan rokok "Taat kalau ada yang lihat".

Rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri juga terlihat semakin luntur dan sangat langka ditemukan. Dalam banyak kasus, seringkali orang yang dicontek belum tentu lebih tahu lebih daripada yang menyontek. Untuk modus penggunaan joki saat tes masuk perguruan tinggi itu lain hal, namun tetap menunjukkan rasa percaya diri yang luntur. Lalu bagaimana jika mencontek buku atau istilahnya krepe'an atau lainnya, bukankah itu bisa menjamin jawaban akan benar? Kembalikan ke depan, di mana rasa percaya diri kita? Ujian, responsi, atau semacam dilaksanakan untuk menguji seberapa baik pemahaman kita bukan untuk menguji kemampuan kita dalam bergerilya membuka buka buku atau krepe'an

Jika kita mendapatkan nilai yang "jelek", hal itu menjadi indikator bahwa pemahaman kita masih kurang. Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah belajar lebih giat lagi. Ekstrimnya coba kita bayangkan seorang sarjana teknik yang lulus dengan menyontek dan kepahamannya sangat kurang, dia mendapat tugas merancang jembatan. Apa yang akan dia lakukan? ada dua pilihan, dia menyewa orang dan menyatakan bahwa itu karyanya sendiri atau dia mencoba merancang sendiri. Dua-duanya sama-sama berakibat fatal, yang pertama dia sudah melakukan kebohongan, sedangkan yang kedua dia dapat mencelakakan banyak orang. Ini hanya contoh dan semoga kita mulai berpikir untuk menghindari perilaku buruk ini.

Masih adakah yang ingin merasakan kebahagiaan sejati, yaitu ketika hasil kerja keras mendapatkan apresiasi dengan nilai yang bagus, bukan nilai yang bagus tapi diperoleh dengan jalan-jalan yang buruk? Semoga saja masih ada. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar harusnya bisa mengamalkan akhlak baik yang merupakan perintah Allah SWT. Jujur adalah salah satu akhlak baik yang diperintahkan Allah untuk kita laksanakan, saya rasa teman-teman setuju bahwa menyontek adalah tindakan tidak jujur. Pengamalan Islam dalam kehidupan sehari-hari harusnya bukan sekedar wacana yang didengungkan saat ujian pendidikan agama Islam saja. Ketika ada kesadaran ini muncul, insyaAllah perilaku menyontek bisa mulai dikurangi, semoga saja. Wallahu'alam bis shawab  (catrim)

Friday, December 16, 2011

Catatan Rimbawan Berbicara tentang Pemilihan Raya

Euphoria Pemilihan Raya (Pemira) di Universitas Gadjah Mada (UGM) makin hari makin terasa, walaupun tak semeriah tahun lalu. Foto-foto calon presiden mahasiswa dan dewan perwakilan mahasiswa KM (kleuarga mahasiswa) UGM bisa dilihat dalam format yang beragam, bisa berupa baliho, pamflet, leaflet kecil, dan yang sekarang sedang naik daun adalah penggunaan internet dan jejaring sosial.


KM Fakultas Kehutanan (KM FKT) juga tak mau ketinggalan even tahunan ini. Setiap fakultas juga mengadakan pemira untuk memimpin lembaga eksekutif maupun legislatifnya masing-masing, termasuk fakultas kehutanan. Bursa calon tak pernah kehabisan stok, selalu ada yang mencoba mengisi lowongan menjadi calon dengan berbagai motivasi yang berbeda. 


Jika saya disuruh mengungkapkan pendapat mengenai pemira tingkat fakultas, saya akan mengurai beberapa hal. Pertama, terkait adanya kubu pengamat, organisasi A, organisasi B, dan independen. Istilah ini akan bergema ketika calon yang lolos pendaftaran dan verifikasi diumumkan. Istilah itu tidak sepenuhnya benar namun tidak sepenuhnya salah. Hal ini bisa jadi terkait pengalaman yang terjadi sebelumnya, di mana ada anggapan bahwa orang-orang yang berkecimpung organisasi A atau B terlihat sering ingin menguasai lembaga yang ada di KM FKT. Sehingga pengamat-pengamat ada yang geram ataupun merasa bosan dengan kondisi semacam ini, namun anehnya mereka tidak berusaha menyodorkan calon yang menurut mereka lebih baik dibandingkan kubu organisasi A dan organisasi B. Sedangkan pihak yang ingin dianggap independen berusaha mengambil kesempatan di antara cold war kubu-kubu ini. 


Kedua, mengenai partisipasi publik pada pemira kali ini, kebanyakan masih didominasi oleh para mahasiswa yang sudah terlanjur berkecimpung di dalam organisasi, termasuk juga pendukung calon, baik calon ketua LEM (lembaga eksekutif mahasiswa) atau calon pimpinan DPM. Mahasiswa yang termasuk tipe lain belum terlalu banyak  berkontribusi, bisa jadi karena kesibukan ataupun merasa tidak adanya perubahan yang signifikan dengan ada atau tidaknya lembaga semacam itu. Partisipasi publik merupakan hal yang penting, puncaknya dapat kita lihat pada hari pencontrengan. Kalau memang makin sedikit yang ikut memilih, maka perlu r-evolusi besar-besaran dalam tubuh LEM maupun DPM agar mahasiswa tidak menjadi apatis dengan kegiatan yang mereka laksanakan.


Ketiga, melihat calon-calon yang ada, semua adalah mahasiswa-mahasiswa yang sudah biasa mengisi harinya di dalam organisasi-organisasi di fakultas. Mengenai calon yang maju, banyak yang lepas dari dugaan saya sebelumnya, namun beberapa juga tepat. Beberapa calon memang sudah terlihat sejak awal ambisinya untuk maju menjadi calon, namun beberapa orang lainnya nampak seperti habis di-charge agar mau mancalonkan diri. Namun ketika sudah memegang nomor masing-masing, mau tidak mau mereka harus siap untuk menjalankan amanah yang nanti mereka dapatkan. Perkara kualitas, saya tidak meragukan para calon, namun saya juga agak pesimis ketika ada calon yang menurut saya sama sekali tidak cocok dan terlihat main-main. Track record menjadi penting di sana, calon-calon yang mempunyai track record yang baik ditunjang dengan kedekatan dengan para calon pemilih kemungkinan besar akan lebih mudah mendulang suara. 


Keempat, Barangkali saya bisa menyebut ini sebagai FAQ (frequently asked question), kenapa saya tidak mencalonkan diri? saya sudah menyiapkan jawaban-jawabannya. 

  • Saya tidak mau maju lagi karena saya ingat sekali pesan ayah dari Gus Mus (A. Mustofa Bisri) yang saya baca dari bukunya Membuka Pintu Langit bahwa:
"Tak akan rusak orang yang tahu batas kemampuannya"
Saya merasa tidak punya kemampuan untuk memimpin LEM maupun DPM (saat ini saya masih menjabat di komisi II DPM) . Walaupun ada yang menganggap saya punya kemampuan, saya pikir mereka tertipu dengan penampilan luar. Terlalu banyak pergolakan batin ketika harus memimpin lembaga-lembaga yang menaungi banyak kalangan, sehingga amanah memimpin lembaga tersebut terlalu besar dan tidak sanggup saya pikul. 
  • Alasan lainnya karena saya ingin sedikit mengarahkan perhatian saya ke studi. Saya ingin menjadi sarjana kehutanan yang sesungguhnya khususnya pada bidang teknologi pengolahan hasil hutan. Butuh waktu untuk mendalami ilmu-ilmu yang ada dalam bidang tersebut, sehingga saya memilih untuk tidak mencalonkan diri lagi.
  • Fokus pada kegiatan organisasi lain juga menjadi alasan saya untuk tidak bergabung untuk merasakan dahsyatnya pemira. Saya akan berusaha meluangkan waktu lebih banyak dalam organisasi dakwah sembari menuntut ilmu agama.
  • Terakhir, saya ingin mengambil KKN (kuliah kerja nyata) di Kalimantan Barat setengah tahun ke depan. Salah satu persyaratan calon adalah tidak boleh mengikuti KKN di luar Jawa. 
Harapan saya untuk Pemira Fakultas Kehutanan kali ini adalah pemira yang bersih, calon yang terpilih nantinya punya aksi yang nyata, partisipasi aktif dari para mahasiswa untuk bersinergi bersama pemimpin yang nanti terpilih, dan terakhir saya berharap adanya koordinasi yang baik antara sesama mahasiswa maupun dengan pihak dekanat. 


Perubahan itu memang pilihan. (catrim)

Saturday, December 3, 2011

Mereka Bernama Mimpi, Cita, dan Harapan

Berbicara tentang masa depan, memang sesuatu yang belum bisa kita jamah. Masa depan, sampai saat ini masih menjadi misteri dan hanya dapat diketahui ketika kita telah melewatinya. Namun sudah bisa terjamah oleh alam pikiran dengan cara merumuskan mimpi, merajut cita, dan membangun harapan untuk menciptakan sendiri masa depan kita.


Waktu tak pernah mau berkompromi dengan kita, tak sadar kita terus berjalan bersamanya. Di tengah perjalanan, orang yang selalu merencanakan hidup dengan baik tidak akan terlalu terkejut dengan perjalanan yang dilaluinya bersama sang waktu. Sedangkan seseorang yang terlalu terbuai oleh buaian waktu pada suatu saat akan berbalik memaki-maki sang waktu karena bayang-bayang kegagalan menghimpitnya.


Sebagai manusia yang dewasa, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk membuat perencanaan yang matang untuk melalui jeram-jeram kehidupan yang tidak sudi mendengar keluhan kita. Tidak terlalu dini ketika kita mengotak-atik jadwal hidup ini di saat kita baru merasakan atmosfer kampus.


Saya pun bukan makhluk sempurna yang telah mempraktekkan teori ini. Saya cukup lama terjebak dalam ketidaktahuan. Tidak tahu bahwa saya telah melalui jalur yang salah. Saya hanya punya mimpi, cita, dan harapan, tanpa tahu cara meraih semuanya. 


Tak ada yang salah jika kita punya mimpi, cita, dan harapan. Banyak orang mengatakan bermimpi itu gratis. Kita hanya seperti daging bertulang yang diberi otak tetapi tidak tahu apa manfaat dari semua potensi yang dimilikinya. Hidup menjadi seperti sebuah formalitas belaka. 


Mimpi, cita, dan harapan dapat kita rangkum menjadi visi. Visi lah yang biasanya memiliki kemampuan membakar. Membakar potensi-potensi kita agar dapat terus bergerak dengan dinamis.


Marilah kita sadarkan diri kita sendiri, evaluasi diri kita, sudah sampai di mana kita? Sudahkah kita menengok kembali visi kita? Tandai posisi kita saat ini, lanjutkan perjalanan setelah mengecek perbekalan yang ada.


Saya sendiri ingin tetap menjadi Hairi Cipta. Seorang rimbawan, jurnalis, calon peneliti, dan penulis. (cat-rim)



Wednesday, November 30, 2011

Internet Menyuburkan Citizen Journalism


Pernahkah diri anda menjadi seorang jurnalis atau wartawan?

Anda mungkin banyak yg menjawab belum. Kebanyakan di antara kita membayangkan sosok wartawan biasanya menenteng kamera atau kamera video, notebook, recorder, kartu pers, atau atribut-atribut lainnya yang bisa melekat pada seorang wartawan.


Internet telah membuat kita Xlangkah Lebih Maju untuk mematahkan "mitos" ini. Belakangan ada aliran jurnalisme yang berkembang cukup pesat. Jurnalisme ini tidak mengharuskan seseorang untuk berprofesi tetap sebgai jurnalis atau terikat dgn industri media massa. Aliran ini dikenal dengan istilah "citizen journalism". Sehingga siapapun kini bisa menjadi jurnalis.

Menurut Curt Chandlercitizen journalism merupakan kegiatan melaporkan berita yang dilakukan warga biasa, yang tidak dimaksudkan memperoleh uang tetapi memiliki minat pada satu topik tertentu. 


 Setiap orang bisa menjadi citizen journalist melalui berbagai media, radio, TV, dan media lainnya, tanpa perlu menjadi jurnalis pada media tersebut. Uniknya perkembangan internet telah mendorong citizen journalism "Xlangkah Lebih Maju", dengan menghadirkan banyak kesempatan kepada setiap elemen masyarakat menjadi jurnalis.

Banyak layanan internet yang bisa menjadi sarana untuk menyuburkan citizen journalism. Masyarakat bisa memanfaatkan jejaring sosial sperti Facebook dan Twitter, blog (Blogger,Wordpress,Multiply) dan juga mikroblog yg sekarang makin diminati yaitu Twitter. Berbagi foto dengan Flickr danTwitpic. Bahkan berbagi video juga semakin mudah dengan hadirnya Youtube. Semua layanan ini menjadikan kita XLangkah Lebih Maju dalam bidang citizen journalism.

Sebuah fenomena unik saya temukan saat tragedi yang terjadi di Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yaitu runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara pada tanggal 26 November 2011. Kebetulan saya besar di sana, namun saat ini sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Begitu mendapat kabar lewat sms tentang runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara, bukannya saya menelepon keluarga. Saya malah lebih memilih membuka internet. Baru beberapa saat mengecek kabar-kabar dari para citizen journalism di Facebook. Saya disarankan untuk melihat foto dari akun Twitter seorang teman. Akhirnya foto pertama yang saya lihat tentang kondisi jembatan bisa saya unduh setengah jam setelah kejadian!! Berikut fotonya:



Setengah jam berikutnya saya mencoba googling, berharap dapat menemukan berita atau foto-foto yang bisa menunjukkan kondisi terkini dari Tenggarong. Ternyata yang saya dapatkan adalah foto yang diupload di Kaskus. Saya belum menemukan media massa yang sudah menuliskan berita tentang runtuhnya jembatan yang sudah dibangun sejak tahun 1995 ini! Berikut fotonya:


Fenomena jembatan besar putus merupakan peristiwa langka dan membuat banyak orang yang tak menyangka peristiwa itu bisa terjadi,
Misalnya pada video berikut:
Berawal dari keisengan membuat video di Pulau Kumala (berada di tengah sungai Mahakam), mereka dikagetkan oleh suara gemuruh yang ternyta berasal dari Jembatan Kutai Kartanegara. Percakapan mereka menunjukkn ketidakpercayaan akan sebuah peristiwa yang begitu cpat dan tak jelas apa penyebabnya. Video bisa dilihat di sini:




Selain foto dan video, banyak sekali opini-opini tentang peristiwa ini yang diungkapkan lewat Twitter dan Facebook. Ada ekspresi tidak percaya, sedih, marah, dan banyak lagi yang tentu akan sulit ditemukan jika kita hanya mengandalkan media massa. 

Terima kasih Internet telah memberikan kami kesempatan menjadi citizen journalist. Terima kasih juga untuk Xl yang selalu hadir memberikan layanan-layanan internet yang semakin bersaing dan semoga semakin MAJU!

  



    






Friday, November 11, 2011

Antara Global Warming dan Energi

Global warming atau kita sebut saja GW sudah menjadi yang asing di telinga kita. “Ke-global-annya” membuat isu yang satu ini diangkat ke lingkup negara bahkan internasional. Isu ini untuk pertama kalinya dibawa ke lingkup internasional pada tahun 1972 dalam konvensi PBB di Stockholm, jika kita hitung-hitung maka sudah  38 tahun isu ini diangkat, namun masih sangat sulit mengkoordinasi umat manusia untuk bahu-membahu untuk mengatasi masalah ini.

Secara singkat GW merupakan pemanasan bumi yang terjadi secara global di seluruh dunia. Lalu apa hubungannya dengan energi? Kita semua tahu bahwa sejak zaman dahulu kala kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa energi, energi itu dapat berasal dari matahari, makanan, angin, air, panas bumi, bahan bakar fosil, dan yang telah berubah ke bentuk lainnya.Saya sendiri memerlukan energi listrik untuk mengetik artikel ini di komputer, perlu makan untuk berpikir dan menggerakkan tangan untuk mengetik sebuah artikel sederhana ini. Sejak SD saya sudah tahu bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat berubah ke bentuk-bentuk yang lain, seperti dalam Hukum  Kekekalan Energi. Jadi kita sebenarnya tak pernah kehabisan energi hanya saja bentuknya yang berubah-ubah.

Kembali ke GW, salah satu penyebab GW adalah efek rumah kaca (ERK). ERK awalnya merupakan sesuatu yang alami, bahkan sangat menunjang kehidupan di bumi, karena dapat menghangatkan bumi. Secara sederhana gambaran efek rumah kaca itu seperti seperti sebuah mobil yang diparkir di bawah terik sinar matahari dan seluruh jendelanya ditutup, maka setelah kita masuk mobil kita akan merasakan bahwa panas di dalam mobil bisa lebih panas daripada di luar mobil. Kaca mobil diibaratkan sebagai gas-gas rumah kaca sedangkan bagian dalam mobil adalah bumi. Gas-gas rumah kaca (GRK) antara lain terdiri dari karbon dioksida, metana, nitrat oksida, dan clorofluorocarbon (CFC). Manusia telah membuat GRK menumpuk di atmosfer dan menyebabkan panas tidak bisa keluar dari bumi.

Penemuan mesin uap telah menyebabkan percepatan proses penumpukan GRK di atmosfer. Umat manusia mendapatkan pencerahan setelah penemuan mesin ini, karena sebelumnya mereka hanya memanfaatkan energi matahari yang terkonversi menjadi makanan pada proses fotosintesis, lalu dimakan oleh manusia atau hewan, hewan juga dimakan oleh manusia, dan manusia mendapatkan energi untuk melakukan aktivitasnya, begitupula hewan yang dimanfaatkan untuk meringankan pekerjaan manusia. Selain itu energi matahari juga terkonversi menjadi energi angin (akibat perbedaan tekanan) dan dimanfaatkan manusia untuk meniup layar perahu. Mesin uap yang digerakkan dengan bahan bakar yang terbuat dari bahan bakar fosil (sisa-sisa makhluk hidup di masa lalu) ternyata memberikan banyak kemudahan bagi manusia. Setelah terjadi Revolusi Industri pada tahun 1760, pemakaian bahan bakar fosil mengalami peningkatan yang jauh lebih pesat, pemakaian tenaga manusia bisa dikurangi, dan pekerjaan menjadi lebih efisien. Waktu itu tanpa disadari manusia telah melakukan penumpukan GRK di atmosfer yang berpotensi, bahkan benar-benar telah terjadi, menyebabkan apa yang kita sebut sebagai GB di masa sekarang .

Eksploitasi BBF yang terjadi secara besar-besaran menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap lingkungan dan manusia. Kita dapat menyaksikan sendiri di negeri ini bagaimana penambangan batubara telah menggusur keberadaan hutan, lalu setelah batubara telah habis, tidak ada upaya yang tegas untuk mereklamasi lahan tersebut. Limbah yang dihasilkan dalam eksploitasi BBF juga menyebabkan berbagai macam masalah baru. Buruknya kesehatan para penambang.  Berton-ton CO2  dilepaskan dari gas alam yang terbakar percuma, seperti yang saya lihat di Bontang, Kalimantan Timur. 

Kebocoran kapal-kapal tangki yang sudah sering terjadi telah banyak merusak ekosistem perairan, walaupun perusahaan telah mengganti rugi secara materiil kepada para nelayan, lalu akan timbul pertanyaan, apakah bisa dengan keadaan air yang seperti itu, ikan-ikan dan makhluk hidup lain yang musnah bisa kembali lagi seperti dulu? Eksploitasi yang tidak dilakukan sendiri melainkan dari perusahaan asing, telah menimbulkan dampak kerugian secara ekonomi yang sangat besar, masalah ini telah nyata terjadi di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya.

Ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil (BBF)sudah sedemikian parahnya,
Perubahan-perubahan iklim yang terjadi secara global telah memaksa manusia untuk beradaptasi dengan keadaan ini, dengan menggunakan berbagai teknologi yang dimilikinya
entah untuk industri, transportasi, perdagangan, listrik, dan sektor-sektor lainnya, akan menimbulkan 2 persoalan sekaligus. Pertama, seperti yang kita bahas sebelumnya yaitu mengenai GB, gas sisa hasil pembakaran bahan bakar fosil (CO2  dan CO) merupakan kontributor penumpukan GRK, ditambah lagi penggunaannya yang sudah mencakup seluruh lini kehidupan. Kedua, BBF merupakan energi yang tak terbarukan, karena pembentukannya membutuhkan waktu jutaan tahun. Dengan begitu maka suatu saat BBF akan habis. Bukanlah sesuatu yang semudah membalikkan telapak kaki untuk menyelesaikan dua masalah ini sekaligus.  

Semakin hari kebutuhan akan energi semakin meningkat ditambah kondisi lingkungan yang buruk membuat dampak-dampak dari GW semakin terasa. Perubahan-perubahan iklim yang terjadi secara global telah memaksa manusia untuk beradaptasi dengan keadaan ini, dengan menggunakan berbagai teknologi yang dimilikinya.

Ada banyak solusi yang bisa menyelesaikan 2 persoalan di atas, tapi solusi-solusi ini bukanlah sesuatu yang mudah, biayanya yang mahal dan waktunya pun tidak singkat, seperti melakukan upaya penggunaan secara massal sumber energi alternatif, dari yang sebelumnya memanfaatkan BBF menjadi pemanfaatan sumber energi terbarukan atau yang tak terbarukan namun tidak semakin menambah penumpukan GRK di atmosfer. Atau melakukan penghematan sumber energi, seperti yang mulai marak belakangan ini yaitu menciptakan mesin atau alat yang efisien dalam penggunaan energi.

Upaya-upaya dari negara lain sungguh sangat mengagumkan untuk beradaptasi untuk menghadapi masalah ini. Jepang dapat mengubah getaran yang diciptakan oleh 80.000 penumpang  di stasiun kereta api Tokyo menjadi energi terbarukan tiap hari, Jepang juga sedang meneliti banteng dari Indonesia yang dikawinkan dengan sapi yang ada di sana untuk mendapatkan sapi yang tahan terhadap suhu yang semakin memanas. Kuba telah menghentikan pemakaian lampu pijar secara total. Ilmuwan barat sudah ada yang memanfaatkan energi dari matahari untuk memecah molekul air menjadi Hidrogen dan oksigen, lalu saat matahari telah terbenam hidrogen dan oksigen digabungkan dalam sel bahan bakar yang akan melepaskan tenaga surya yang telah disimpan.Di luar negeri, angkutan umum dan sepeda telah menjadi primadona, menunjukkan kesadaran akan pentingnya masalah lingkungan.  

Dari fakta-fakta yang ada dunia internasional, kini sudah banyak yang mengubah pola hidupnya guna beradaptasi dan mencegah percepatan GW. Indonesia pun begitu, sumber energi nabati (biofuel) sudah banyak dimanfaatkan, dilarangnya produksi sepeda motor 2 tak, berusaha menciptakan transportasi umum yang memadai, mulai maraknya kampanye-kampanye dari LSM maupun pemerinah yang membahas masalah GW. Namun sayang sosialisasi ke masyarakat sangat kurang, masyarakat seakan-akan hanya mengatakan "oh", dan tidak ada tindak lanjut. Selain itu masyarakat-masyarakat yang taraf pendidikannya rendah masih sangat tidak paham apa itu GW dan apa yang harus mereka perbuat, petani misalnya, mereka hanya tahu bahwa saat ini musim mulai tidak menentu, namun mereka tidak tahu apa penyebabnya dan bagaimana cara beradaptasinya, jika keadaan ini tidak segera terselesaikan bukan tidak mungkin akan terjadi krisis pangan di Indonesia.

Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan GW dan energi sangatlah kompleks. Hubungan yang dimiliki keduanya membuat kita harus berpikir lebih keras agar dapat mengelola bumi ini dengan baik. Namun hal ini bukanlah berarti membuat kita menjadi pesimis. Banyak yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi untuk menyelamatkan bumi ini, mulai dari diri sendiri dan mulailah dari sekarang.


Repost dari tulisan yang pernah di-post di Kompasiana

Wednesday, November 2, 2011

Hujan telah Mengingatkan Kita!

Kayuhan sepedaku terpaksa harus ku hentikan. Langit saat ini sedang bermurah hati menurunkan tetes-tetes hujan yang begitu penuh dengan makna. Bagiku sendiri hujan kali ini bermakna teguran bagiku agar jangan pernah lupa membawa jas hujan kalau  bepergian. Bagi penjual warung yang aku singgahi, hujan ini mungkin bermakna syukur karena ada yang singgah untuk sekedar menyeruput teh hangat di warungnya. Lain lagi bagi petani, pasti mereka juga bersyukur karena hujan kembali membasahi tanahnya sehingga bisa ditanami lagi. Ada juga yang sedikit rasa kecewa (tapi pasti tetap bersyukur), seperti seorang penjual es yang bersama-sama sholat berjamaah di masjid yang ku singgahi yang pasti akan kehilangan pembeli karena cuaca yang cukup dingin. Warga Jogja yang berada di bantaran Kali Code mungkin akan merasa was was, kalau-kalau ada banjir lahar dingin. Bagi pengusaha kayu yang menggunakan sistem pengeringan kayu alami akan memerlukan waktu lebih lama karena kelembaban udara akan meningkat. Terlalu banyak makna di dalam setiap rintik air hujan.

Aku bukan anak kecil lagi, yang sudah punya banyak pertimbangan dalam melakukan segala hal. Dahulu saat pulang sekolah (ketika SD), meskipun hujan lebat tetap saja ditembus tanpa mantel, payung, bahkan jaket pun tidak. Pakaian seragam putih-merah kotor dan basah kuyup, tas dan seisinya sama-sama memprihatinkan, badan menggigil, tapi terasa nikmat. Lain halnya kalau berangkat sekolah, paling tidak bisa menyiapkan diri dulu sebelum menembus hujan. Tapi entah mengapa pikiran saat itu merasa gengsi (atau malu) kalau disuruh membawa jas hujan, diantarkan naik sepeda motor juga tidak mau. 

Di daerahku, Tenggarong, hujan memang tidak mengenal waktu, entah musim kemarau atau musim penghujan. Kekecewaan atau rasa jengkel bisa saja muncul ketika hujan turun dengan derasnya saat rencana-rencana telah kita susun dengan rapi. Kita memang pantas untuk mengeluh ketika prakiraan cuaca di Indonesia kurang begitu terurus dan tersampaikan ke masyarakat. Anugerah Allah berupa hujan yang harusnya kita syukuri bisa-bisa kita selewengkan hanya karena urusan-urusan dunia yang sepele jika dibandingkan urusan akhirat. Padahal salah satu rukun iman adalah Iman kepada Takdir Allah. Jangan sampai tingkat keimanan kita turun hanya karena masalah yang sepele.

Cobalah renungkan sebentar saja makna yang lebih mendalam dari setiap tetes air hujan. Kita semua pasti tidak asing lagi dengan istilah global warming yang sering digembar-gemborkan di mass media. Salah satu tandanya adalah perubahan iklim atau bahasa jawanya climate change. Perubahan iklim membuat cuaca di bumi tidak menentu. Setahun yang lalu (2010), ketika saya di Jogja, rasa-rasanya tidak ada perbedaan yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau. Bahkan ada dosen klimatologi yang mengupdate status Facebook bahwa tahun itu yang ada adalah kemarau basah. Berbeda dengan yang terjadi tahun ini, hujan baru turun di Jogja di akhir Oktober setelah dinanti berbulan-bulan lamanya. Di belahan bumi lain malah kelebihan air, seperti di Thailand yang sampai saat ini telah memakan ratusan korban jiwa. Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah kita pernah berburuk sangka kepada Allah karena peristiwa-peristiwa ini? Semoga saja tidak. Pasti kita bisa menemukan hikmah di balik semua peristiwa yang terjadi di muka bumi. Para ilmuwan dan peneliti selalu berusaha menemukan jawaban-jawaban sehingga seringkali menemukan kesimpulan bahwa peristiwa ini terjadi karena ulah manusia. Mungkin inilah cara Allah berkomunikasi kepada semua makhluk-Nya, mengingatkan kita agar tidak kufur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Apa yang telah kita lakukan membuahkan kerusakan demi kerusakan di muka bumi. Ayat berikut akan sangat relevan dengan kerusakan-kerusakan yang terjadi belakangan ini:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (T.Q.S. Ar-Rum ayat 41)

Lantas, siapa yang salah? Tak ada satupun yang mau disalahkan. Kita lebih sering saling menunjuk ketika ditanya hal ini, bukannya berupaya untuk memperbaiki apa yang sudah terlanjur rusak. Mulai dari diri sendiri? Tentu tidak cukup, setiap orang memang wajib memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan yang terjadi dan tentu juga mengajak orang lain untuk ikut membantu. Berikan pemahaman kepada orang lain sesuai kemampuan kita, berapapun umur kita, apapun profesi kita, ajaklah orang lain! Semoga saja apa yang telah terjadi membuat kita lebih lebih bersyukur dengan segala karunia yang Allah berikan. Selain itu Allah ingin kita kembali ke jalan benar dengan menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi dengan baik. Kita wajib mengelola alam ini dengan cara yang arif dan bijak, ada ungkapan menarik:  "Alam ini bukan warisan dari leluhur melainkan kita telah meminjamnya dari anak cucu kita." Barang pinjaman tentu harus dikembalikan lagi dengan bentuk yang baik, semoga masih ada kesempatan untuk itu.

Back to rain, Alhamdulillah hujan sudah sering turun, walaupun kadang tak terduga. Lagu Coldplay yang terbaru berjudul Every Teardrop is a Waterfall, akan lebih cocok kalau saya ubah menjadi Every Raindrops is a Rahmat for Everyone.


P.S.: sekarang lagi musim ujian,, belajar yang rajin ya :) .. besok saya ujian Komunikasi Informasi Kehutanan lho, tapi gak papa lah posting sebentar.. satu lagi , cucian saya tadi basah dihantam hujan, tapi mesti tetap bersyukur.. Salam Cat-Rim .. 

Tuesday, November 1, 2011

Masuk Hutan, Terjerat Perangkap Babi

Usia muda bukan alasan menunda karya. Doktor bidang forest product lulusan Jepang ini umurnya belum genap 38 tahun, tapi hasil penelitiannya sudah mengisi banyak jurnal internasional. Sekitar 150 jenis tanaman telah "dikuliti" khasiatnya oleh pria yang menyelesaikan program S1 dan S2 di Unmul ini.


Enos Tangke Arung, nama peneliti sekaligus dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) ini. Mengenakan baju batik, dia menyambut kedatangan harian ini di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fahutan, bersama ketua laboratorium (lab) tersebut, Irawan Wijaya Kusuma.


Enos mengatakan, tak jarang keluar masuk hutan untuk mencari sampel penelitiannya. Tapi, pekerjaan di laboratorium lebih memakan waktu ketimbang yang diperlukan memburu sampel.
Beberapa waktu lalu, dia dan tim peneliti yang terdiri dari beberapa mahasiswa terjun ke hutan di Kutai Barat selama setengah bulan. Enos akan menggalu bahan tradisional yang digunakan masyarakat Dayak untuk kesehatan. "Misalnya bahan untuk membuat bedak dingin,"kata peneliti yang fokus menggali khasiat tanaman untuk kulit.


Enos menceritakan, mereka tidak bermalam di hutan, karena jarak dari hutan ke desa tidak terlalu jauh.
Tapi ada kejadian kurang mengenakkan di sana. "Ada salah satu mahasiswa yang menginjak perangkap babi. Untung tidak berbahaya,"tuturnya. Risiko-risiko seperti itu menurutnya biasa bagi peneliti.
Risiko yang tak seberapa dibanding saat penelitiannya diterbitkan di jurnal internasional. "Rasanya luar biasa," kata Enos, tampak kesulitan menggambarkan perasaan itu. Karya Enos yang sudah terbit di jurnal internasional sudah puluhan.


Buka saja situs pubmed.com, lalu ketik nama lengkap pria itu, daftar penelitiannya akan muncul. Di antara penelitian itu dilakukan bersama rekan seruangannya di Lab Kimia Hasil Hutan, Irawan WK.
Pubmed adalah layanan dari National Library of Medicine, Amerika Serikat yang menyajikan artikel-artikel biomedis sejak tahun 1950-an hingga kini serta jurnal-jurnal tentang pemanfaatan tanaman untuk kesehatan dari seluruh dunia.


Pria yang memulai kariernya sebagai dosen pada 1997 ini pernah meneliti kayu nangka yang ekstraknya bisa digunakan sebagai bahan pemutih kulit. Lalu, membuat bahan kosmetik dari tanaman belabetan (termasuk jenis semak) yang terdapat di Kubar. Dua penelitian itu telah dipatenkan.


Sayangnya, dari sekian banyak penelitiannya, semua belum dikemas dalam bentuk produk jadi. Kecuali teh Tahongai. Tahongai (Kleinhovia hospita) adalah tumbuhan yang biasa tumbuh alami di pinggiran aliran sungai di Kaltim, memiliki batang yang sedang, daun yang lunak dan selalu hijau. Saat ini tanaman ini sangat sulit dijumpai.


Menurut Enos, Tahongai memiliki zat antioksidan, ekstrak etanolnya bisa mematikan kanker hati. Produk teh itu dibuatnya bersama alumnus Fahutan Unmul, Herry Ramadan. Ke depan, Enos ingin menelurkan produk dari penelitiannya tentang whitening agent (pemutih). Mengapa pemutih? karena pasarnya lumayan bagus. "Sekarang bukan hanya perempuan yang menggunakan krim pemutih,"katanya.


Minggu lalu, Enos dan timnya menjelajah Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) di Balikpapan. Memburu tanaman apa saja yang sekiranya bisa bermanfaat bagi kesehatan. Di antaranya, Etlingera balikpapanensis (jenis jahe-jahean yang baru ditemukan peneliti asal Kanada 3 tahun lalu). Jahe jenis itu belum diketahui fungsinya. Untuk itu Enos dan mahasiswanya tertarik meneliti.


Dia menyayangkan, hutan tropis membentang di Kaltim, tapi masyarakatnya belum paham pemanfaatannya. "Sayangkan, mengkonservasi hutan kalau penduduk setempat nggak tahu memanfaatkannya," Jelas suami Roberta Diana.
Enos mengerjakan aktivitas penelitian ini di luar tugas rutinnya mengajar. Dia juga santai menjalani kegiatan itu. "Saya di lab dari pagi sampai sore," katanya.


Ayah dari Samuel Hideaki (5) ini menyebut, dana sebagai ujian berat bagi para peneliti. "Tapi itu dulu, sebelum 2006. Setelah itu Dikti (Direktorat Pendidikan Tinggi, Red.) membuka kesempatan luas memberikan dana bagi peneliti khususnya di perguruan tinggi negeri," jelasnya.
Sebelum itu, kata dia, tak jarang peneliti keluar kocek pribadi. "Tapi jumlahnya tidak banyak, sih,"akunya.





Kaltim Post 5 Juni 2011

Thursday, October 27, 2011

Rimbawan Menulis di Media Massa? Siapa Takut!

Apakah anda berminat menulis di media massa?
Setelah mengikuti kuliah Komunikasi Informasi Kehutanan, saya terpacu untuk sekedar menampilkan tulisan saya di media yang dibaca banyak kalangan, koran misalnya. Untuk menjamin agar tulisan kita bagus, tentu tidak boleh sembarangan. Agar bisa meminimalisir kegagalan, barangkali belajar dengan orang yang berpengalaman bukan ide yang buruk.

Saya sendiri mencoba bertanya kepada salah satu dosen lulusan PhD di Gottingen, Jerman. Kebetulan saya googling ternyata cukup banyak tulisan beliau di media massa, beliau adalah Pak Ahmad Maryudi. Terutama untuk mahasiswa Fakultas Kehutanan, nampaknya tips-tips berikut akan sangat bermanfaat. Berikut adalah tips-tips yang beliau berikan:

1. isu kehutanan relatif tidak begitu menarik bagi media. hanya beberapa yg punya kepedulian, terutama Jakarta Post dan Jakarta Globe.
Kecuali jika isu kehutanan tersebut digabung dg isu yg lebih luas, misal climate change, ketahanan pangan. Isu sawit disini mgkn bisa masuk jika digabung dg climate change dan/ atau food security. media lain yg mgkn mengcover isu sawit antara lain Kompas, Media Indonesia, Republika. Media lokal jelas tidak akan tertarik.
2. media punya bahasa yg berbeda dg bahasa ilmiah.tentunya bahasa populer yg diinginkan
3. dari judul, pembaca sudah bisa menduga alurnya
4. paragraf pertama biasanya langsung pada pokok permasalahan yg akan diulas. Disini penulis sudah menunjukkan "posisi"nya.
5. data akan sangat mendukung. Tidak perlu referensi. cukup misalnya, "sebuah studi dari FAO menyatakan bahwa..." dan lain sebagainya
6. paragrap terakhir jelas kesimpulan, disini biasanya penulis jg menpunyai "tawaran-tawaran solusi". tapi ini tidak harus spt itu.
7. banyak-banyaklah baca opini..kita akan banyak belajar disitu.

Sekian post kali ini. Semoga bermanfaat.


Saturday, October 22, 2011

Eksotisme Arboreteum "Hutan Mini Pardiyan" dan Burung-burungnya


Selama ini hutan identik dengan pohon-pohon rimbun yang berada di daerah pinggiran kota atau pedesaan. Banyak orang yang takut ke hutan karena dalam pikiran mereka hutan adalah daerah yang jarang dijamah manusia, banyak ularnya, ada penunggunya, dan juga nyamuk-nyamuk yang terkenal ganas. 


Menurut yang saya pahami, hutan merupakan bentuk dari asosiasi antara flora dan fauna yang saling berinteraksi dan membentuk iklim mikro yang berbeda dengan iklim di luarnya. Hutan biasanya merupakan area yang luas dan memang jarang berada di tengah kota. Namun bagaiman jika hutan berada di tengah kota?


Itulah yang bisa kita temukan di salah satu sudut kampus Universitas Gadjah Mada di kawasan Bulaksumur, Sleman. Hutan ini dinamakan dengan sebutan Arboreteum Pardiyan atau Arboreteum "Hutan Mini Pardiyan". Menurut keterangan salah seorang dosen kehutanan, arboreteum menjadi seperti saat ini terjadi karena ketidaksengajaan. Awalnya dosen-dosen sering menanami lahan-lahan itu dengan benih-benih yang berhasil diperoleh dari suatu daerah, hingga lama kelamaan tanaman menjadi semakin besar dan terlihat seperti  sekarang ini.


Pohon-pohon yang ada di dalamnya terdiri dari banyak spesies, di antaranya adalah trembesi, hopea, kesambi, ketapang, pterigota, flamboyan, kecrutan, eboni, nangka, pinus, meranti, ampupu, keruing,cemara, randu, dan lainnya. Ada spesies yang  mendominasi dan menyebar dengan sangat cepat yaitu pterigota (Pterygota alata). Ukuran pohon di arboreteum bervariasi, diameter yang besar bisa mencapai 1 meter lebih, dan yang tertinggi bisa sampai 40 meter. Setiap tahunnya, saat mahasiswa baru Fakultas Kehutanan masuk, selalu dilakukan penanaman di hutan ini. Pengelolaan di hutan ini sendiri nampaknya tidak ada, barangkali hutan ini diurus jika ada pohon yang tumbang ke jalan dan tempat parkir saja. 


Keberadaan hutan di tengah kota merupakan satu hal yang positif. Di tengah hiruk pikuk kota dengan polusi-polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor, hutan bisa membantu menyerap polusi-polusi tersebut dan menjadikan udara terasa lebih segar oleh oksigen yang dihasilkannya. Selain itu, keunikan bisa kita jumpai saat mendongakkan kepala ke atas. Kita akan melihat sekelompok burung yang bertengger atau beterbangan di atasnya. Burung-burung ini awalnya bukan tinggal di Arboreteum Pardiyan. Kemungkinan terjadi kerusakan pada habitat aslinya, sehingga mereka harus bermigrasi dan Arboreteum menjadi pilihan yang cocok. 


Berdasarkan apa yang saya lihat, ada beberapa spesies yang bersarang di sini. Hal ini menjadikan daya tarik sekaligus keresahan, karena populasinya yang sangat banyak yang berakibat menimbulkan bau tak sedap dari kotorannya. Saat memasuki arboreteum, bau amoniak persis seperti jika kita memasuki pabrik amoniak akan tercium jika memasuki kawasan arboreteum. Sudah dilakukan beberapa tindakan untuk mengurangi populasi mereka, namun tetap saja jumlah mereka masih banyak. Tidak adanya predator alami bisa jadi menjadi salah satu penyebabnya. Masih diperlukan solusi yang jitu untuk mengatasi permasalahan ini. Mungkin jika burung-burung itu bisa berbicara, mereka akan berkata:"Apakah salah jika kami hanya ingin menjadikan Arboreteum Pardiyan sebagai rumah kami?"


Arboreteum ini juga sering menjadi tempat penelitian dan praktikum bagi mahasiswa, termasuk di antaranya skripsi-skripsi mahasiswa. Oleh karena itu, selain jasa ekologis, arboreteum juga sudah membantu pengembangan IPTEKS terutama dalam bidang kehutanan. Tentunya menjadi harapan kita bersama agar arboreteum ini jangan sampai dimusnahkan hanya karena kepentingan-kepentingan jangka pendek. Minimal seluruh civitas akademika memiliki mindset yang sama tentang pentingnya keberadaan arboreteum.


Berikut ini saya sajikan beberapa gambar yang berhasil yang saya peroleh dari arboreteum:




Buah saga











terlihat kendaraan bermotor

Kotoran-kotoran burung
Sarang burung

Pterygota alata, spesies yang cukup mendominasi di arboreteum





Sumber Foto: koleksi pribadi