Wednesday, November 30, 2011

Internet Menyuburkan Citizen Journalism


Pernahkah diri anda menjadi seorang jurnalis atau wartawan?

Anda mungkin banyak yg menjawab belum. Kebanyakan di antara kita membayangkan sosok wartawan biasanya menenteng kamera atau kamera video, notebook, recorder, kartu pers, atau atribut-atribut lainnya yang bisa melekat pada seorang wartawan.


Internet telah membuat kita Xlangkah Lebih Maju untuk mematahkan "mitos" ini. Belakangan ada aliran jurnalisme yang berkembang cukup pesat. Jurnalisme ini tidak mengharuskan seseorang untuk berprofesi tetap sebgai jurnalis atau terikat dgn industri media massa. Aliran ini dikenal dengan istilah "citizen journalism". Sehingga siapapun kini bisa menjadi jurnalis.

Menurut Curt Chandlercitizen journalism merupakan kegiatan melaporkan berita yang dilakukan warga biasa, yang tidak dimaksudkan memperoleh uang tetapi memiliki minat pada satu topik tertentu. 


 Setiap orang bisa menjadi citizen journalist melalui berbagai media, radio, TV, dan media lainnya, tanpa perlu menjadi jurnalis pada media tersebut. Uniknya perkembangan internet telah mendorong citizen journalism "Xlangkah Lebih Maju", dengan menghadirkan banyak kesempatan kepada setiap elemen masyarakat menjadi jurnalis.

Banyak layanan internet yang bisa menjadi sarana untuk menyuburkan citizen journalism. Masyarakat bisa memanfaatkan jejaring sosial sperti Facebook dan Twitter, blog (Blogger,Wordpress,Multiply) dan juga mikroblog yg sekarang makin diminati yaitu Twitter. Berbagi foto dengan Flickr danTwitpic. Bahkan berbagi video juga semakin mudah dengan hadirnya Youtube. Semua layanan ini menjadikan kita XLangkah Lebih Maju dalam bidang citizen journalism.

Sebuah fenomena unik saya temukan saat tragedi yang terjadi di Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yaitu runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara pada tanggal 26 November 2011. Kebetulan saya besar di sana, namun saat ini sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Begitu mendapat kabar lewat sms tentang runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara, bukannya saya menelepon keluarga. Saya malah lebih memilih membuka internet. Baru beberapa saat mengecek kabar-kabar dari para citizen journalism di Facebook. Saya disarankan untuk melihat foto dari akun Twitter seorang teman. Akhirnya foto pertama yang saya lihat tentang kondisi jembatan bisa saya unduh setengah jam setelah kejadian!! Berikut fotonya:



Setengah jam berikutnya saya mencoba googling, berharap dapat menemukan berita atau foto-foto yang bisa menunjukkan kondisi terkini dari Tenggarong. Ternyata yang saya dapatkan adalah foto yang diupload di Kaskus. Saya belum menemukan media massa yang sudah menuliskan berita tentang runtuhnya jembatan yang sudah dibangun sejak tahun 1995 ini! Berikut fotonya:


Fenomena jembatan besar putus merupakan peristiwa langka dan membuat banyak orang yang tak menyangka peristiwa itu bisa terjadi,
Misalnya pada video berikut:
Berawal dari keisengan membuat video di Pulau Kumala (berada di tengah sungai Mahakam), mereka dikagetkan oleh suara gemuruh yang ternyta berasal dari Jembatan Kutai Kartanegara. Percakapan mereka menunjukkn ketidakpercayaan akan sebuah peristiwa yang begitu cpat dan tak jelas apa penyebabnya. Video bisa dilihat di sini:




Selain foto dan video, banyak sekali opini-opini tentang peristiwa ini yang diungkapkan lewat Twitter dan Facebook. Ada ekspresi tidak percaya, sedih, marah, dan banyak lagi yang tentu akan sulit ditemukan jika kita hanya mengandalkan media massa. 

Terima kasih Internet telah memberikan kami kesempatan menjadi citizen journalist. Terima kasih juga untuk Xl yang selalu hadir memberikan layanan-layanan internet yang semakin bersaing dan semoga semakin MAJU!

  



    






Friday, November 11, 2011

Antara Global Warming dan Energi

Global warming atau kita sebut saja GW sudah menjadi yang asing di telinga kita. “Ke-global-annya” membuat isu yang satu ini diangkat ke lingkup negara bahkan internasional. Isu ini untuk pertama kalinya dibawa ke lingkup internasional pada tahun 1972 dalam konvensi PBB di Stockholm, jika kita hitung-hitung maka sudah  38 tahun isu ini diangkat, namun masih sangat sulit mengkoordinasi umat manusia untuk bahu-membahu untuk mengatasi masalah ini.

Secara singkat GW merupakan pemanasan bumi yang terjadi secara global di seluruh dunia. Lalu apa hubungannya dengan energi? Kita semua tahu bahwa sejak zaman dahulu kala kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa energi, energi itu dapat berasal dari matahari, makanan, angin, air, panas bumi, bahan bakar fosil, dan yang telah berubah ke bentuk lainnya.Saya sendiri memerlukan energi listrik untuk mengetik artikel ini di komputer, perlu makan untuk berpikir dan menggerakkan tangan untuk mengetik sebuah artikel sederhana ini. Sejak SD saya sudah tahu bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat berubah ke bentuk-bentuk yang lain, seperti dalam Hukum  Kekekalan Energi. Jadi kita sebenarnya tak pernah kehabisan energi hanya saja bentuknya yang berubah-ubah.

Kembali ke GW, salah satu penyebab GW adalah efek rumah kaca (ERK). ERK awalnya merupakan sesuatu yang alami, bahkan sangat menunjang kehidupan di bumi, karena dapat menghangatkan bumi. Secara sederhana gambaran efek rumah kaca itu seperti seperti sebuah mobil yang diparkir di bawah terik sinar matahari dan seluruh jendelanya ditutup, maka setelah kita masuk mobil kita akan merasakan bahwa panas di dalam mobil bisa lebih panas daripada di luar mobil. Kaca mobil diibaratkan sebagai gas-gas rumah kaca sedangkan bagian dalam mobil adalah bumi. Gas-gas rumah kaca (GRK) antara lain terdiri dari karbon dioksida, metana, nitrat oksida, dan clorofluorocarbon (CFC). Manusia telah membuat GRK menumpuk di atmosfer dan menyebabkan panas tidak bisa keluar dari bumi.

Penemuan mesin uap telah menyebabkan percepatan proses penumpukan GRK di atmosfer. Umat manusia mendapatkan pencerahan setelah penemuan mesin ini, karena sebelumnya mereka hanya memanfaatkan energi matahari yang terkonversi menjadi makanan pada proses fotosintesis, lalu dimakan oleh manusia atau hewan, hewan juga dimakan oleh manusia, dan manusia mendapatkan energi untuk melakukan aktivitasnya, begitupula hewan yang dimanfaatkan untuk meringankan pekerjaan manusia. Selain itu energi matahari juga terkonversi menjadi energi angin (akibat perbedaan tekanan) dan dimanfaatkan manusia untuk meniup layar perahu. Mesin uap yang digerakkan dengan bahan bakar yang terbuat dari bahan bakar fosil (sisa-sisa makhluk hidup di masa lalu) ternyata memberikan banyak kemudahan bagi manusia. Setelah terjadi Revolusi Industri pada tahun 1760, pemakaian bahan bakar fosil mengalami peningkatan yang jauh lebih pesat, pemakaian tenaga manusia bisa dikurangi, dan pekerjaan menjadi lebih efisien. Waktu itu tanpa disadari manusia telah melakukan penumpukan GRK di atmosfer yang berpotensi, bahkan benar-benar telah terjadi, menyebabkan apa yang kita sebut sebagai GB di masa sekarang .

Eksploitasi BBF yang terjadi secara besar-besaran menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap lingkungan dan manusia. Kita dapat menyaksikan sendiri di negeri ini bagaimana penambangan batubara telah menggusur keberadaan hutan, lalu setelah batubara telah habis, tidak ada upaya yang tegas untuk mereklamasi lahan tersebut. Limbah yang dihasilkan dalam eksploitasi BBF juga menyebabkan berbagai macam masalah baru. Buruknya kesehatan para penambang.  Berton-ton CO2  dilepaskan dari gas alam yang terbakar percuma, seperti yang saya lihat di Bontang, Kalimantan Timur. 

Kebocoran kapal-kapal tangki yang sudah sering terjadi telah banyak merusak ekosistem perairan, walaupun perusahaan telah mengganti rugi secara materiil kepada para nelayan, lalu akan timbul pertanyaan, apakah bisa dengan keadaan air yang seperti itu, ikan-ikan dan makhluk hidup lain yang musnah bisa kembali lagi seperti dulu? Eksploitasi yang tidak dilakukan sendiri melainkan dari perusahaan asing, telah menimbulkan dampak kerugian secara ekonomi yang sangat besar, masalah ini telah nyata terjadi di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya.

Ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil (BBF)sudah sedemikian parahnya,
Perubahan-perubahan iklim yang terjadi secara global telah memaksa manusia untuk beradaptasi dengan keadaan ini, dengan menggunakan berbagai teknologi yang dimilikinya
entah untuk industri, transportasi, perdagangan, listrik, dan sektor-sektor lainnya, akan menimbulkan 2 persoalan sekaligus. Pertama, seperti yang kita bahas sebelumnya yaitu mengenai GB, gas sisa hasil pembakaran bahan bakar fosil (CO2  dan CO) merupakan kontributor penumpukan GRK, ditambah lagi penggunaannya yang sudah mencakup seluruh lini kehidupan. Kedua, BBF merupakan energi yang tak terbarukan, karena pembentukannya membutuhkan waktu jutaan tahun. Dengan begitu maka suatu saat BBF akan habis. Bukanlah sesuatu yang semudah membalikkan telapak kaki untuk menyelesaikan dua masalah ini sekaligus.  

Semakin hari kebutuhan akan energi semakin meningkat ditambah kondisi lingkungan yang buruk membuat dampak-dampak dari GW semakin terasa. Perubahan-perubahan iklim yang terjadi secara global telah memaksa manusia untuk beradaptasi dengan keadaan ini, dengan menggunakan berbagai teknologi yang dimilikinya.

Ada banyak solusi yang bisa menyelesaikan 2 persoalan di atas, tapi solusi-solusi ini bukanlah sesuatu yang mudah, biayanya yang mahal dan waktunya pun tidak singkat, seperti melakukan upaya penggunaan secara massal sumber energi alternatif, dari yang sebelumnya memanfaatkan BBF menjadi pemanfaatan sumber energi terbarukan atau yang tak terbarukan namun tidak semakin menambah penumpukan GRK di atmosfer. Atau melakukan penghematan sumber energi, seperti yang mulai marak belakangan ini yaitu menciptakan mesin atau alat yang efisien dalam penggunaan energi.

Upaya-upaya dari negara lain sungguh sangat mengagumkan untuk beradaptasi untuk menghadapi masalah ini. Jepang dapat mengubah getaran yang diciptakan oleh 80.000 penumpang  di stasiun kereta api Tokyo menjadi energi terbarukan tiap hari, Jepang juga sedang meneliti banteng dari Indonesia yang dikawinkan dengan sapi yang ada di sana untuk mendapatkan sapi yang tahan terhadap suhu yang semakin memanas. Kuba telah menghentikan pemakaian lampu pijar secara total. Ilmuwan barat sudah ada yang memanfaatkan energi dari matahari untuk memecah molekul air menjadi Hidrogen dan oksigen, lalu saat matahari telah terbenam hidrogen dan oksigen digabungkan dalam sel bahan bakar yang akan melepaskan tenaga surya yang telah disimpan.Di luar negeri, angkutan umum dan sepeda telah menjadi primadona, menunjukkan kesadaran akan pentingnya masalah lingkungan.  

Dari fakta-fakta yang ada dunia internasional, kini sudah banyak yang mengubah pola hidupnya guna beradaptasi dan mencegah percepatan GW. Indonesia pun begitu, sumber energi nabati (biofuel) sudah banyak dimanfaatkan, dilarangnya produksi sepeda motor 2 tak, berusaha menciptakan transportasi umum yang memadai, mulai maraknya kampanye-kampanye dari LSM maupun pemerinah yang membahas masalah GW. Namun sayang sosialisasi ke masyarakat sangat kurang, masyarakat seakan-akan hanya mengatakan "oh", dan tidak ada tindak lanjut. Selain itu masyarakat-masyarakat yang taraf pendidikannya rendah masih sangat tidak paham apa itu GW dan apa yang harus mereka perbuat, petani misalnya, mereka hanya tahu bahwa saat ini musim mulai tidak menentu, namun mereka tidak tahu apa penyebabnya dan bagaimana cara beradaptasinya, jika keadaan ini tidak segera terselesaikan bukan tidak mungkin akan terjadi krisis pangan di Indonesia.

Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan GW dan energi sangatlah kompleks. Hubungan yang dimiliki keduanya membuat kita harus berpikir lebih keras agar dapat mengelola bumi ini dengan baik. Namun hal ini bukanlah berarti membuat kita menjadi pesimis. Banyak yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi untuk menyelamatkan bumi ini, mulai dari diri sendiri dan mulailah dari sekarang.


Repost dari tulisan yang pernah di-post di Kompasiana

Wednesday, November 2, 2011

Hujan telah Mengingatkan Kita!

Kayuhan sepedaku terpaksa harus ku hentikan. Langit saat ini sedang bermurah hati menurunkan tetes-tetes hujan yang begitu penuh dengan makna. Bagiku sendiri hujan kali ini bermakna teguran bagiku agar jangan pernah lupa membawa jas hujan kalau  bepergian. Bagi penjual warung yang aku singgahi, hujan ini mungkin bermakna syukur karena ada yang singgah untuk sekedar menyeruput teh hangat di warungnya. Lain lagi bagi petani, pasti mereka juga bersyukur karena hujan kembali membasahi tanahnya sehingga bisa ditanami lagi. Ada juga yang sedikit rasa kecewa (tapi pasti tetap bersyukur), seperti seorang penjual es yang bersama-sama sholat berjamaah di masjid yang ku singgahi yang pasti akan kehilangan pembeli karena cuaca yang cukup dingin. Warga Jogja yang berada di bantaran Kali Code mungkin akan merasa was was, kalau-kalau ada banjir lahar dingin. Bagi pengusaha kayu yang menggunakan sistem pengeringan kayu alami akan memerlukan waktu lebih lama karena kelembaban udara akan meningkat. Terlalu banyak makna di dalam setiap rintik air hujan.

Aku bukan anak kecil lagi, yang sudah punya banyak pertimbangan dalam melakukan segala hal. Dahulu saat pulang sekolah (ketika SD), meskipun hujan lebat tetap saja ditembus tanpa mantel, payung, bahkan jaket pun tidak. Pakaian seragam putih-merah kotor dan basah kuyup, tas dan seisinya sama-sama memprihatinkan, badan menggigil, tapi terasa nikmat. Lain halnya kalau berangkat sekolah, paling tidak bisa menyiapkan diri dulu sebelum menembus hujan. Tapi entah mengapa pikiran saat itu merasa gengsi (atau malu) kalau disuruh membawa jas hujan, diantarkan naik sepeda motor juga tidak mau. 

Di daerahku, Tenggarong, hujan memang tidak mengenal waktu, entah musim kemarau atau musim penghujan. Kekecewaan atau rasa jengkel bisa saja muncul ketika hujan turun dengan derasnya saat rencana-rencana telah kita susun dengan rapi. Kita memang pantas untuk mengeluh ketika prakiraan cuaca di Indonesia kurang begitu terurus dan tersampaikan ke masyarakat. Anugerah Allah berupa hujan yang harusnya kita syukuri bisa-bisa kita selewengkan hanya karena urusan-urusan dunia yang sepele jika dibandingkan urusan akhirat. Padahal salah satu rukun iman adalah Iman kepada Takdir Allah. Jangan sampai tingkat keimanan kita turun hanya karena masalah yang sepele.

Cobalah renungkan sebentar saja makna yang lebih mendalam dari setiap tetes air hujan. Kita semua pasti tidak asing lagi dengan istilah global warming yang sering digembar-gemborkan di mass media. Salah satu tandanya adalah perubahan iklim atau bahasa jawanya climate change. Perubahan iklim membuat cuaca di bumi tidak menentu. Setahun yang lalu (2010), ketika saya di Jogja, rasa-rasanya tidak ada perbedaan yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau. Bahkan ada dosen klimatologi yang mengupdate status Facebook bahwa tahun itu yang ada adalah kemarau basah. Berbeda dengan yang terjadi tahun ini, hujan baru turun di Jogja di akhir Oktober setelah dinanti berbulan-bulan lamanya. Di belahan bumi lain malah kelebihan air, seperti di Thailand yang sampai saat ini telah memakan ratusan korban jiwa. Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah kita pernah berburuk sangka kepada Allah karena peristiwa-peristiwa ini? Semoga saja tidak. Pasti kita bisa menemukan hikmah di balik semua peristiwa yang terjadi di muka bumi. Para ilmuwan dan peneliti selalu berusaha menemukan jawaban-jawaban sehingga seringkali menemukan kesimpulan bahwa peristiwa ini terjadi karena ulah manusia. Mungkin inilah cara Allah berkomunikasi kepada semua makhluk-Nya, mengingatkan kita agar tidak kufur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Apa yang telah kita lakukan membuahkan kerusakan demi kerusakan di muka bumi. Ayat berikut akan sangat relevan dengan kerusakan-kerusakan yang terjadi belakangan ini:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (T.Q.S. Ar-Rum ayat 41)

Lantas, siapa yang salah? Tak ada satupun yang mau disalahkan. Kita lebih sering saling menunjuk ketika ditanya hal ini, bukannya berupaya untuk memperbaiki apa yang sudah terlanjur rusak. Mulai dari diri sendiri? Tentu tidak cukup, setiap orang memang wajib memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan yang terjadi dan tentu juga mengajak orang lain untuk ikut membantu. Berikan pemahaman kepada orang lain sesuai kemampuan kita, berapapun umur kita, apapun profesi kita, ajaklah orang lain! Semoga saja apa yang telah terjadi membuat kita lebih lebih bersyukur dengan segala karunia yang Allah berikan. Selain itu Allah ingin kita kembali ke jalan benar dengan menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi dengan baik. Kita wajib mengelola alam ini dengan cara yang arif dan bijak, ada ungkapan menarik:  "Alam ini bukan warisan dari leluhur melainkan kita telah meminjamnya dari anak cucu kita." Barang pinjaman tentu harus dikembalikan lagi dengan bentuk yang baik, semoga masih ada kesempatan untuk itu.

Back to rain, Alhamdulillah hujan sudah sering turun, walaupun kadang tak terduga. Lagu Coldplay yang terbaru berjudul Every Teardrop is a Waterfall, akan lebih cocok kalau saya ubah menjadi Every Raindrops is a Rahmat for Everyone.


P.S.: sekarang lagi musim ujian,, belajar yang rajin ya :) .. besok saya ujian Komunikasi Informasi Kehutanan lho, tapi gak papa lah posting sebentar.. satu lagi , cucian saya tadi basah dihantam hujan, tapi mesti tetap bersyukur.. Salam Cat-Rim .. 

Tuesday, November 1, 2011

Masuk Hutan, Terjerat Perangkap Babi

Usia muda bukan alasan menunda karya. Doktor bidang forest product lulusan Jepang ini umurnya belum genap 38 tahun, tapi hasil penelitiannya sudah mengisi banyak jurnal internasional. Sekitar 150 jenis tanaman telah "dikuliti" khasiatnya oleh pria yang menyelesaikan program S1 dan S2 di Unmul ini.


Enos Tangke Arung, nama peneliti sekaligus dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) ini. Mengenakan baju batik, dia menyambut kedatangan harian ini di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fahutan, bersama ketua laboratorium (lab) tersebut, Irawan Wijaya Kusuma.


Enos mengatakan, tak jarang keluar masuk hutan untuk mencari sampel penelitiannya. Tapi, pekerjaan di laboratorium lebih memakan waktu ketimbang yang diperlukan memburu sampel.
Beberapa waktu lalu, dia dan tim peneliti yang terdiri dari beberapa mahasiswa terjun ke hutan di Kutai Barat selama setengah bulan. Enos akan menggalu bahan tradisional yang digunakan masyarakat Dayak untuk kesehatan. "Misalnya bahan untuk membuat bedak dingin,"kata peneliti yang fokus menggali khasiat tanaman untuk kulit.


Enos menceritakan, mereka tidak bermalam di hutan, karena jarak dari hutan ke desa tidak terlalu jauh.
Tapi ada kejadian kurang mengenakkan di sana. "Ada salah satu mahasiswa yang menginjak perangkap babi. Untung tidak berbahaya,"tuturnya. Risiko-risiko seperti itu menurutnya biasa bagi peneliti.
Risiko yang tak seberapa dibanding saat penelitiannya diterbitkan di jurnal internasional. "Rasanya luar biasa," kata Enos, tampak kesulitan menggambarkan perasaan itu. Karya Enos yang sudah terbit di jurnal internasional sudah puluhan.


Buka saja situs pubmed.com, lalu ketik nama lengkap pria itu, daftar penelitiannya akan muncul. Di antara penelitian itu dilakukan bersama rekan seruangannya di Lab Kimia Hasil Hutan, Irawan WK.
Pubmed adalah layanan dari National Library of Medicine, Amerika Serikat yang menyajikan artikel-artikel biomedis sejak tahun 1950-an hingga kini serta jurnal-jurnal tentang pemanfaatan tanaman untuk kesehatan dari seluruh dunia.


Pria yang memulai kariernya sebagai dosen pada 1997 ini pernah meneliti kayu nangka yang ekstraknya bisa digunakan sebagai bahan pemutih kulit. Lalu, membuat bahan kosmetik dari tanaman belabetan (termasuk jenis semak) yang terdapat di Kubar. Dua penelitian itu telah dipatenkan.


Sayangnya, dari sekian banyak penelitiannya, semua belum dikemas dalam bentuk produk jadi. Kecuali teh Tahongai. Tahongai (Kleinhovia hospita) adalah tumbuhan yang biasa tumbuh alami di pinggiran aliran sungai di Kaltim, memiliki batang yang sedang, daun yang lunak dan selalu hijau. Saat ini tanaman ini sangat sulit dijumpai.


Menurut Enos, Tahongai memiliki zat antioksidan, ekstrak etanolnya bisa mematikan kanker hati. Produk teh itu dibuatnya bersama alumnus Fahutan Unmul, Herry Ramadan. Ke depan, Enos ingin menelurkan produk dari penelitiannya tentang whitening agent (pemutih). Mengapa pemutih? karena pasarnya lumayan bagus. "Sekarang bukan hanya perempuan yang menggunakan krim pemutih,"katanya.


Minggu lalu, Enos dan timnya menjelajah Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) di Balikpapan. Memburu tanaman apa saja yang sekiranya bisa bermanfaat bagi kesehatan. Di antaranya, Etlingera balikpapanensis (jenis jahe-jahean yang baru ditemukan peneliti asal Kanada 3 tahun lalu). Jahe jenis itu belum diketahui fungsinya. Untuk itu Enos dan mahasiswanya tertarik meneliti.


Dia menyayangkan, hutan tropis membentang di Kaltim, tapi masyarakatnya belum paham pemanfaatannya. "Sayangkan, mengkonservasi hutan kalau penduduk setempat nggak tahu memanfaatkannya," Jelas suami Roberta Diana.
Enos mengerjakan aktivitas penelitian ini di luar tugas rutinnya mengajar. Dia juga santai menjalani kegiatan itu. "Saya di lab dari pagi sampai sore," katanya.


Ayah dari Samuel Hideaki (5) ini menyebut, dana sebagai ujian berat bagi para peneliti. "Tapi itu dulu, sebelum 2006. Setelah itu Dikti (Direktorat Pendidikan Tinggi, Red.) membuka kesempatan luas memberikan dana bagi peneliti khususnya di perguruan tinggi negeri," jelasnya.
Sebelum itu, kata dia, tak jarang peneliti keluar kocek pribadi. "Tapi jumlahnya tidak banyak, sih,"akunya.





Kaltim Post 5 Juni 2011