Sunday, May 29, 2011

Malu Bertanya Sesat di Jalan


Berfoto di depan Monumen Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional

Di mana ibukota Republik Indonesia? Pembaca blog Catatan Rimbawan pasti sudah tahu jawabannya.

Jawabannya adalah Jakarta. Kota yang dilalui oleh Sungai Ciliwung ini sudah “dinobatkan” menjadi ibukota Republik Indonesia (RI) sejak awal Indonesia merdeka hingga sekarang. Namun dalam perjalanannya, ibukota Republik Indonesia memang sempat dipindahkan ke Yogyakarta (1946) dan Bukittinggi (1948).

Sewaktu saya kecil, saya hanya bisa melihat betapa “indahnya” ibukota dari televisi, media cetak, atau foto ayah dan teman-temannya yang berlibur ke sana. Menurut Hairi kecil, Jakarta adalah kota yang keren. Banyak gedung-gedung bertingkat tinggi, tempat hiburan anak-anak yang seru, banyak artisnya, sering masuk televisi, pokoknya Jakarta is perfect city. Mimpi masa kecil saya adalah ingin jalan-jalan ke Jakarta naik pesawat. Dasar anak kecil.

Saat ini saya sudah dewasa dan berhasil mewujudkan impian masa kecilnya. Tanggal 25 Mei 2011 saya berhasil menginjakkan kaki di kota yang dulu dikenal dengan nama Batavia. Memang bukan pertama kalinya saya ke Jakarta, pada bulan Januari 2011 saya sudah pernah ke sini namun hanya sekedar numpang lewat untuk pergi ke Institut Pertanian Bogor (IPB).

Perjalanan kali ini saya bersama dua orang sahabat saya, ZAKKI dan CANDRA. Misi perjalanan ini adalah mendatangi Kementrian Kehutanan RI yang lokasinya berada di Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta. Kami ingin mengajukan proposal sponsorship kepada pihak Kementrian Kehutanan dan Direktorat-direktorat Jenderal yang bersangkutan dengan kehutanan. Harapannya dengan bantuan dari mereka, kegiatan Kunjungan Industri (Industrial Visit) 2011 yang diadakan FORESTECH bisa berjalan dengan lancar.

Berbekal uang Rp 500.000,00, kami bagaikan buta arah. Alamat Kementrian Kehutanan RI saja baru kami cek pada saat tiba Stasiun Pasar Senen hasil browsing lewat Handphone. Saat dicek dengan aplikasi Google Map, jarak antara lokasi tempat kami berada dan Kementrian Kehutanan sekitar 11,2 km. Jarak sejauh ini tidak mungkin kami lalui dengan merayap, jelas kami butuh kendaraan untuk ke sana.

Teman-teman pasti sering mendengar ungkapan “Malu Bertanya Sesat di Jalan”. Setelah bertanya kepada beberapa orang, satu hal yang kami dapatkan: Ternyata orang-orang banyak yang tidak tahu lokasi Kementrian Kehutanan. setelah kami menyebutkan nama jalan, baru mereka bisa memberikan instruksi cara ke berangkat ke sana. Mungkin akibat jarang jalan-jalan, orang yang kami tanya hanya memberikan satu solusi yaitu naik BAJAJ. Ok.. 11,2 km ditempuh dengan bajaj.

Tahukah harga yang ditawarkan oleh sopir bajaj? Rp 40.000 boi. Tetapi sopir itu sedikit ragu-ragu, maklum Jl. Gatot Subroto adalah jalan protokol dan bajaj tidak boleh lewat sana. Keputusan untuk naik bajaj kami tunda dulu, tawaran berikutnya dari sopir taksi. Harga yang dia tawarkan adalah Rp 50.000,00. Kalau dilihat memang lebih murah bajaj, tetapi dilihat dari kenyamanan sepertinya perbedaan antara bajaj dan taksi sangat jauh.

Saat menghadapi dilema saat berada dalam perjalanan, saya teringat saran dari seorang teman. Jika bingung saat dalam perjalanan, cobalah datang ke warung sekitar terminal atau stasiun. Sambil membeli makanan, minuman, atau yang lainnya, bertanyalah kepada penjualnya tentang cara mencapai lokasi yang kita tuju. Penjual warung bisa netral, sedangkan para pemilik angkutan biasanya selalu bersaing agar kita naik ke angkutan mereka. Solusi yang cukup bagus ---walaupun harus ikhlas makan soto ayam Lamongan seharga Rp10.000 per porsi--- penjual itu memberitahu kami lokasi shelter (semacam halte bus) Transjakarta yang paling dekat dengan Stasiun Pasar Senen.

Cukup berjalan sekitar 5-10 menit, kami sudah tiba Shelter Transjakarta (tepat berada di depan Atrium Plaza). Namun karena diselingi dengan foto-foto di depan Monumen Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional, waktu untuk ke sana menjadi sedikit lebih lama. Jika sudah tiba di shelter, jangan lupa ingat kembali ungkapan “Malu Bertanya Sesat di Jalan”. Bertanyalah kepada petugas Transjakarta atau langsung bertanya di loket penjualan tiket. Mereka akan memberikan arahan mengenai jalur-jalur mana saja yang perlu kita naiki untuk mencapai lokasi yang dituju. Perlu teman-teman ketahui, pada pukul 05.00-07.00 WIB, harga tiket Transjakarta atau juga dikenal dengan Busway seharga Rp 2.000 per orang untuk satu kali perjalanan. Setelah lewat pukul 07.00 WIB, harga normalnya adalah Rp 3.500 per orang. Satu perjalanan yang dimaksudkan di sini adalah perjalanan yang anda tempuh untuk sampai pada shelter terakhir tempat kita turun. Jadi walaupun kita transit berkali-kali maka tetap dianggap satu kali perjalanan. Ayo hitung-hitungan, mana yang lebih murah :

  • Rp 6.000,00 = Transjakarta @Rp 2000
  • Rp 40.000,00 = Bajaj
  • Rp 50.000,00 = Taksi

IIni merupakan pengalaman pertama kali naik Transjakarta (Busway). Di Yogyakarta juga ada yang meniru Transjakarta, angkutan itu dikenal dengan nama Transjogja. Perbedaannya, Di Jakarta sudah ada jalur khusus untuk Transjakarta, sedangkan di Yogyakarta tidak ada. Jumlah armada Transjakarta lebih besar dibandingkan armada Transjogja. Minat masyarakat untuk naikTransjakarta jauh lebih besar daripada naik Transjogja.

Suasana di dalam bus Transjakarta

Kalau kita perhatikan penduduk Jakarta, maka kita akan melihat penduduk yang sangat heterogen. Masyarakat yang terkesan individualistis banyak dijumpai di sini. Saat di bus banyak telinga-telinga yang disumbat dengan headset untuk mendengarkan lagu-lagu favorit mereka, setiap orang asyik dengan dunianya masing. Obrolan mereka bersama orang lain yang berada di sampingnya pun jarang terjadi. Suasana yang kurang menyenangkan, berbeda sekali dengan di Yogyakarta atau Tenggarong (Kab. Kutai Kartanegara).

Secara singkat RUTE KE KEMENTRIAN KEHUTANAN dengan menggunakan Transjakarta (Busway) adalah sebagai berikut:

Stasiun Pasar SenenShelter Transjakarta- Kampung Melayu BNNSlipi PetamburanBerjalan kaki sekitar 10-15 menit ke kompleks Gedung Manggala Wanabakti.Waktu yang diperlukan bisa mencapai kira-kira 1,5-2 jam.

Agar postingannya tidak terlalu panjang, cukup di sini dulu kisah perjalanan kami ke Kementrian Kehutanan. Saya usahakan untuk menulis lanjutannya.. InsyaAllah

Semoga sharing ini bermanfaat untuk teman-teman semua.

Ingat ya : "Malu Bertanya Sesat di Jalan"

Wednesday, May 18, 2011

Kuliner Satwa Langka

telur penyu

Kuliah Dasar-dasar Pengelolaan Satwa Liar mampu mengantarkan saya pada ingatan-ingatan masa lalu saya. Ingatan-ingatan ketika masih di kampung halaman bersama satwa-satwa liar yang ada di sana.

Kalimantan Timur, provinsi yang sering disebut-sebut di dalam perkuliahan di Fakultas Kehutanan. Saya heran, apa menariknya provinsi ini. Mungkin beberapa pengalaman saya ini bisa memberikan gambaran kebudayaan yang ada di sana.

Satwa liar di Kalimantan Timur juga menjadi salah satu pilihan kuliner. Termasuk saya juga sudah pernah mencobanya. Salah satu satwa yang menjadi sasaran adalah penyu.

Makanan favorit yang diambil dari penyu adalah telurnya. Kalau ditanya enak atau tidak, ya mau tidak mau saya bilang ENAK. Penampakan telurnya sendiri seperti bola pingpong, warnanya putih, bulat tapi ada sudut-sudut yang memipih, dan kulitnya tipis. Saya biasanya makan telur ini dengan direbus setengah matang. Bisa dimakan dengan dengan atau tanpa nasi. Kami biasanya membeli telur penyu di pedagang-pedagang kaki lima Samarinda. Harganya sekitar 3 tahun yang lalu mencapai Rp 4.000,00 per butir. Sudah lama saya tidak makan lagi dan mungkin tidak akan mau mencobanya lagi sebagai bentuk kepeduliaan terhadap satwa langka ini.

Masih berkaitan dengan urusan kuliner dan penyu, ketika saya tinggal di Bontang dalam rangka menempuh pendidikan SMK selama 3 tahun, saya harus menyewa kamar kos karena tidak punya saudara di sana. Suatu hari, putra ibu kos bersama istri dan temannya sedang bakar-bakar sate. Tahukah anda sate apa yang dibakar? Tadi telurnya sekarang dagingnya. Ya.. sate daging penyu. Saya sampai tak habis pikir, bisa-bisanya spesies langka seperti itu berakhir di tusuk sate. Saya pun ditawari sate itu, namun tidak saya makan.

Entah mengapa saya tidak mau memakan sate penyu, akhirnya sate itu saya bawa ke rumah salah seorang teman, sebut saja Andro. Pikiran jahil pun muncul, saya biarkan saja Andro memakan sate itu tanpa memberitahu bahwa itu daging penyu. Saya tak habis pikir ternyata Andro belum bisa membedakan antara sate ayam dan sate dari spesies langka, dia memakannya dengan lahap..hehe. Setelah selesai dilahap barulah saya memberitahu dia bahwa yang dia makan adalah daging penyu. Entah apa yang dirasakannya, kemungkinan dia mual setelah mendengar “pengakuan” saya. Saya jahat sekali ya?

sate buaya

Anda pernah melihat Rob Bredl atau Steve Irwin (Alm) menaklukkan buaya? Mereka tangkas sekali kalau sudah berurusan dengan satwa berahang kuat ini. Teknik yang mereka gunakan nampaknya sudah teruji dan selalu saja buaya-buaya itu bisa ditaklukkan.

Saya mungkin memang tidak pernah menangkap buaya apalagi duduk di atas punggungnya. Saya boleh sedikit lebih sombong, karena saya sudah pernah memakan daging buaya...hehe. Untuk sekali seumur hidup saya sudah pernah melahap daging buaya dari tusuk sate.

Sate buaya dapat kita jumpai di Penangkaran Buaya Tritip, Balikpapan. Penangkaran buaya ini memang ditujukan untuk bisnis. Buaya-buaya itu harus rela dikorbankan untuk diambil kulit, daging, alat kelamin, dan beberapa bagian tubuhnya. Di tempat inilah dilakukan kegiatan penyamakan kulit hingga kulit buaya siap untuk diolah menjadi tas, sabuk, dan dompet. Daging buaya juga dipercaya ampuh untuk mengobati berbagai macam penyakit. Kadang-kadang seperti inilah kekejaman manusia yang sulit sekali kita tolak. Manusia memelihara dan memberi makan satwa-satwa dengan maksud untuk membantainya suatu saat ketika sudah dewasa.

Masih berkaitan dengan buaya. Di Tenggarong, Kutai Kartanegara beberapa tahun yang lalu. Ada buaya yang dinamai sebagai “buaya setia”. Satwa ini unik sekali dan bisa dikatakan buaya ini bukan lagi satwa liar saking jinaknya kepada manusia. Ketika saya melihat foto kakak sepupu saya saat dia masih kecil, sungguh luar biasa karena dia berpose di atas tubuh spesies yang terkenal cukup kejam dengan manusia. Tidak jauh dari Tenggarong, di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, sudah banyak manusia yang berakhir di dalam lambung buaya.

Ada kisah yang unik dari pemilik buaya ini. Pertama kali beliau bertemu dengan buaya ini adalah saat beliau memancing. Entah mengapa pancingan beliau malah digigit oleh buaya. Akhirnya buaya itu dilepaskan lagi, tapi anehnya buaya itu kembali kena pancingan lagi. Setelah berlangsung beberapa kali, orang itu akhirnya menyerah dan terpaksa membawa pulang buaya itu. Buaya itu dipelihara hingga dewasa bahkan sampai menemui ajalnya (R.I.P.), sifat liar buaya ini benar-benar hilang.

Mohon maaf jika tulisan ini membuat teman-teman marah. Saya akan berusaha untuk tidak memakan telur penyu lagi V(^-^). Ayo kita lestarikan alam dan sayangi satwanya!


Image pinjem dari:

images

sate%2Bbuaya.jpg

Rute Migrasi Antelope


Rute migrasi satwa yang unik. Di dalam kartun ini digambarkan seekor antelope yang meminta manusia untuk menggeser mobilnya karena koloni antelope ingin lewat. Antelope melewati rute yang sama setiap tahunnya.

Bijaksana terhadap Alam dengan Kearifan Lokal


gempa di Jepang

oleh: Mohamad Khomarudin
mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Indonesia adalah Negara yang mempunyai potensi bencana cukup besar. Hal tersebut tidak terlepas dari wilayah Indonesia yang terletak antara empat lempengan bumi diantaranya Lempengan Eurasia,Lempengan Pasifik, Lempengan Antartika, dan Lempengan Afrika. Selain itu Indonesia juga merupakan daerah pertemuan rangkaian sirkum Mediteran dan rangkaian sirkum Pasifik. Hal tersebut dapat menyebabkan terbentuknya aktivitas magma, sehingga terbentuk gunung-gunung api. Aktivitas tersebut juga dapat memicu terjadinya gempa bumi (Wardiyatmoko, 2006). Gempa bumi dan aktifitas gunung-gunung api tersebut dapat mengakibatkan tidak seimbangnya alam dan menyebabkan bencana.

Bencana mengakibatkan kerugian. Kerugian akibat bencana tersebut tidak hanya berdampak bagi manusia tetapi juga keseluruhan ekosistem yang terdapat pada daaerah tersebut. Kerusakan ekosistem menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan komponen di alam, sehingga komponen dalam ekosistem juga akan mengalami gangguan dan kerusakan. Selain itu rusaknya ekosistem akan berpengaruh terhadap interaksi antara komponen-komponen dalam ekosistem yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Terganggunya interaksi ini akan mengakibatkan terhentinya berbagai aliran energi dan materi, sehingga tidak tercapai keadaan yang stabil dan seimbang (Odum, 1998)

Kerugian terhadap hewan maupun tumbuhan akibat Keadaan yang tidak stabil dan tidak seimbang dalam ekosistem tersebut dapat berupa rusaknya habitat, hilangnya sumber makanan, bahkan musnahnya hewan ataupun tumbuhan tersebut.
Sedangkan bagi manusia dapat berupa hilangnya sumber kehidupan, rusaknya tempat tinggal, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidup dari manusia sendiri. Kaitannya dengan kerugian akibat bencana terhadap manusia. Bencana juga dapat berakibat pada lumpuhnya aktivitas ekonomi manusia. Lumpuhnya aktivitas ekonomi mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan manusia. Hal ini akan berakibat pada kelangsungan hidup manusia. Jelaslah bahwa bencana tersebut mendatangkan berbagai kerugian terhadap kehidupan mahluk hidup di muka bumi.

Bencana pada hakikatnya dapat disebabkan oleh aktivitas bumi dan dapat disebabkan oleh aktivitas manusia. Bencana yang disebabkan oleh aktivitas bumi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akibat tenaga endogen dan tenaga eksogen. Bencana akibat tenaga endogen terjadi karena aktivitas dari dalam bumi yang tidak stabil. Bencana yang disebabkan oleh tenaga eksogen terjadi karena aktivitas dipermukaan bumi, yaitu tidakseimbangnya atmosfer. Sedangkan bencana akibat aktivitas manusia adalah bencana yang terjadi karena adanya campur tangan manusia yang tidak bertanggungjawab dan bersifat merusak, serta tidak memperhatikan kelestarian alam, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya bencana.

Bencana yang terjadi hendaknya disikapi dengan pola pikir yang bijaksana. Bencana merupakan fenomena alam yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga, sehingga kadang kala sulit untuk diprediksi. Bencana datang seolah-olah tidak peduli dan terkesan sadis, namun Setiap bencana yang terjadi sesungguhnya mengandung pesan sekaligus peringatan bagi manusia. Setidak- tidaknya membuat manusia mengingat kembali akan adanya kekuatan besar diluar diri manusia yang mampu mengendalikan alam semesta ini. Amatlah tidak baik apabila bencana dipandang sebagai petaka belaka. Sebagai mahluk yang mampu berfikir kita seharusnya mampu mengkaji pesan moran dibalik bencana tersebut dan justru dengan adanya peristiwa tersebut kita menjadi semakin sadar akan kebesaran dan kuasa Tuhan. Tentunya dalam mengkaji bencana ini perlu dilandasi pula pola pikir yang logis dan penjiwaan secara spiritual dengan tidak mengabaikan kelestarian alam.

Pesan moran yang terkandung dalam suatu fenomena alam yang merugikan (bencana) tersebut hanya dapat dicerna apabila manusia memiliki kesadaran akan pentingnya kelestarian alam sebagai penyangga sistem kehidupan. Kesadaran akan pentingnya kelestarian alam dan keseimbangan alam ini tidak akan bisa diterapkan apabila manusia hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan semena-mena terhadap alam seolah-olah sebagai mahluk yang berkuasa atas alam dan segala kelebihannya termasuk kemampuan dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi Kesadaran dalam konteks ini harus dijiwai dengan hukum sebab akibat atau konsep siklis yang menekankan apakah Fenomena yang bersifat merugikan berupa bencana tersebut ada hubungannya dengan aktivitas atau tindakan manusia. Penganalisaan ini kemudian berlanjut pada pertanyaan apakah yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Penganalisaan ini lebih pada pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang menekankan adanya keseimbangan alam.

Pendekatan holistik ini memiliki karakteristik antara fakta dan nilai merupakan hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Fakta dan nilai saling melengkapi dan saling terkait. Nilai disini adalah tidak hanya empiric tetapi juga intuitif. Pendekatan holistik ini juga mengandung etika dalam kehidupan empiris yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Manusia dan alam tidak bisa dipisahkan dan relasi diantara keduanya adalah sinergi sistematik. Alam dipahami terdiri dari keseluruhan yang terkait satu sama lain, yang jauh lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya (Keraf, 2002).

Pendekatan Holistik mempunyai dampak yang sangat positif bagi etika dan lingkungan hidup. Pendekatan Holistik tidak menerima bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai. Nilai ikut mempengaruhi pengembangan ilmu pengetahuan (Keraf, 2002). Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi modern dikembangkan tanpa mempertimbangkan nilai, dengan mengabaikan dampak pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap alam, terhadap realitas kehidupan, maka alam dan realitas kehidupan ini sendiri akan memberi reaksi yang merugikan manusia. Fakta dan nilai terkait erat satu sama lain. Oleh karena itu fakta tidak boleh dilihat dan dilepaskan dari nilai. Bagi paradigma holistik, setiap fakta ilmiah bukanlah fakta murni begitu saja, tetapi harus memuat nilai secara moral, sehingga ada hubungan sangat erat antara benar secara ilmiah dan benar secara moral.
Paradigma Holistik memandang bahwa manusia tidak terpisah dari alam dan berada di atas alam (Keraf, 2002). Manusia juga tidak dilihat sebagai tuan dan penguasa alam. Manusia adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari alam. Manusia menyatu dan saling terkait erat dengan keseluruhan kenyataan yang ada, ada sikap hormat terhadap alam itu sendiri. Sikap hormat tersebut bahkan menjadi bagian integral dan diperhatikan secara serius dalam keseluruhan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Aspek-aspek kualitatif semacam pertimbangan mengenai nilai, aspek budaya, estetis, sosial, manusiawi ikut berpengaruh menentukan kebijakan yang diambil. Pendekatan yang diambil lebih multidimensi dengan tidak hanya memperhitungakan aspek dan manfaat ekonomis, tetapi juga berbagai aspek dan dimensi lain. Dengan demikian diharapkan aspek lingkungan hidup akan lebih diperhitungkan dan tidak menutup kemungkinan aspek lingkungan hidup akan dapat diselamatkan.

Dari pandangan holistik tersebut jelas bahwa antara manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan. Manusia dan alam saling berhubungan dengan erat. Setiap kebijakan juga harus mempertimbangkan tidak hanya kebenaran secara ilmiah tetapi juga moral dan etika (Keraf, 2002). Itu artinya Manusia dalam bertindah kaitannya dengan alam harus bijaksana. Tindakan manusia dengan alam harus dapat dipertanggungjawabkan. Alam disediakan olehTuhan tidak hanya untuk keperluan manusia itu sendiri melainkan untuk makhuk hidup yang lainnya. Interaksi manusia dengan alam ini nantinya akan berpengaruh terhadap kehidupan makhuk hidup di alam. Apabila intraksi manusia dengan alam baik maka pengaruh atau akibat dari tindakan manusia juga akan baik dan tidak mengganggu kestabilan alam, sebaliknya apabila dalam berinteraksi terhadap alam manusia tidak mengindahkan kaidah keseimbangan alam dalam arti merusak, maka akan terjadi ketidakseimbangan di alam. Ketidak seimbangan di alam ini nantinya akan berlanjut pada bencana.

Perlu kesadaran dari manusia bahwa bencana-bencana yang terjadi di muka bumi tersebut sebenarnya juga tidak terlepas dari tindakan manusia terhadap alam. Alam akan bersahabat apabila manusia juga bersahabat. Tidak bersahabatnya alam terhadap kehidupan mahluk hidup di bumi bukan tanpa alasan. Kerusakan bumi akibat ulah manusia seolah membuat penderitaan bagi bumi. Bumi yang semakin tua dengan beban yamg semakin berat justru diperparah dengan perbuatan manusia yang merusak. Bumi sebagai tempat tinggal mahluk hidup akhirnya pada suatu keadaan tertentu mulai tidak stabil dan ketidakstabilan ini menyebabkan terjadinya bencana.

Pandangan bahwa manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta dan kepentingan manusia dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosiatem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam tidaklah tepat. Alam bukanlah ojek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia dengan sesuka hati tanpa memperdulikan kelestarian dan keberlanjutan dari kehidupan di alam. Alam dalam kajian ekologis sebagai biosfer telah membentuk satu kesatuan dari ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi hubungan timbal balik semua komponen yang ada termasuk berbagai siklus baik materi maupun energi yang memungkinkan keberlangsungan kehidupan mahluk hidup (Kimmins, 1987: 69). Apabila alam digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia tentunya akan berakibat tidak adanya keberlanjutan sistem. Sistem harmonis dan kokoh yang telah terbentuk dan tercapai keadaan yang homeostatis akan mudah goyah dan tercerai berai.
Pandangan bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta tersebut perlu dikoreksi dengan pandangan bahwa Alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Dengan nilai yang dimiliki alam tersebut, maka pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam berhak diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak, sehingga berlaku setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama oleh sebab itu harus dilindungi dan diselamatkan. Alam semesta adalah sebuah komunitas moral, setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama mempunyai nilai moral. Seluruh kehidupan di alam semesta membentuk sebuah komunitas moral, oleh sebab itu kehidupan mahluk apapun pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung rugi bagi kepentingan manusia.

Pandangan mengenai manusia sebagai pusat dari alam tersebut juga perlu dikoreksi dengan pandangan bahwa etika dan moral juga berlaku pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak. Secara ekologis mahluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain, oleh sebab itu kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada mahluk hidup. Tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Dalam hal ini tidak dibenarkan memusatkan perhatian pada jangka pendek, perhatian harus dipusatkan pada jangka panjang yang menyangkut kepentingan semua komunitas ekologis (Keraf, 2002).

Ternyata kedua pandangan yang tidak hanya memposisikan manusia sebagai pusat moral dan etika tersebut sudah dimiliki dan telah dipraktikkan oleh masyarakat-masyarakat adat atau masyarakat tradisional di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Cara pandang mengenai manusia sebagai bagian integral dari alam, serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat, dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta, telah menjadi cara pandang dan perilaku berbagai masyarakat adat di seluruh dunia. Ketika cara pandang yang holistik mengajak kita untuk meninggalkan cara pandang ilmu pengetahuan modern yang tidak memperhatikan kelestarian alam dan ketika cara pandang yang memusatkan alam semesta, moral, dan etika pada semua mahluk hidup dan ekologi mengajak kita untuk meninggalkan cara pandang yang memusatkan alam semesta pada manusia, sesungguhnya kita diarahkan kembali pada kearifan tradisional atau kearifan local (Keraf, 2002).
Kearifan lokal yang mengajarkan mengenai keberlanjutan dan kelestarian ekosistem serta adanya sikap hormat dan menghargai alam, serta kembali ke jati diri manusia sebagai manusia ekologis. Kearifan lokal juga mengajarkan mengenai etika lingkungan. Etika lingkungan ini mengajarkan bahwa manusia, alam , dan relasi diantara keduanya adalah perspektif religius, perspektif spiritual. Kaitannya dengan ini alam dipahami oleh masyarakat adat sebagai sesuatu yang sakral. Spiritual ini merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan mewarnai seluruh realasi dari semua ciptaan di alam semesta, termasuk relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib. Demikian pula spiritual akan selalu menjiwai. Mewarnai,dan menandai setiap aktifitas manusia, yang tidak lain adalah aktivitas dalam alam, aktivitas dalam alam yang sakral (Keraf, 2002).

Dalam perspektif ini agama dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam (Keraf, 2002). Dalam penghayatan agama seperti itu, masyarakat adat ingin selalu mencari dan membangun harmoni diantara manusia, alam, masyarakat, dan dunia gaib, dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Hal ini mempengaruhi cara berpikir, berperilaku, dan seluruh ekspresi serta penghayatan adat sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh relasi dengan alam sebagai bagian dari hidup dan eksistensi dirinya, sehingga setiap perilaku manusia didasarkan pada kekerabatan, sikap hormat, dan cinta terhadap alam.

Cara pandang yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat adat tersebut perlu kita terapkan lagi dalam kehidupan ini. Pengetahuan keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika dari masyarakat adat yang tidak hanya menuntun bagaimana relasi yang baik antara sesama manusia, tetapi juga relasi diantara semua penghuni komunitas ekologis perlu kita cermati dan terapkan dalam kehidupan di bumi tercinta ini agar tercipta suasana yang harmonis antar sesama komunitas ekologis dan kita semakin bijaksana dalam menyikapi berbagai fenomena alam yang terjadi.



DAFTAR PUSTAKA

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology.Macmillan Publishing Company. Yew York. P: 69
Odum, Eugene P. 1998. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga Trj. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Wardiyatmoko K. 2006. Geografi. Penerbit Erlangga. Jakarta

Image pinjem dari : bike_earthquake_japan21.jpg

NILAI-NILAI PENYU BELIMBING (Dermochelys coriacea)



oleh: Wijanarko Herlambang* , Bambang Setiawan*, Hairi Cipta* ** , Pramesthi Indo*, Aprilia Widayani *

*=mahasiswa Fakultas Kehutanan Univesitas Gadjah Mada

**=owner Catatan Rimbawan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Kekayaan sumber daya alam berupa satwa liar di Indonesia sangat berpotensi untuk menyumbang kehidupan masyarakat banyak. Tetapi tidak cukup hanya dimanfaatkan saja tanpa adanya upaya pengelolaan terhadap satwa liar.

Berbagai jenis satwa liar bisa ditemukan di Indonesia dengan keunikannya masing-masing. Satwa-satwa tersebut tersebar di darat dan laut. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat dari sekitar 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di Indonesia (profauna.org), semakin bertambahnya kemajuan zaman keberadaan satwa ini semakin terancam. Manusia memanfaatkannnya dengan berbagai cara dan sering kali menyebabkan terjadinya penurunan populasi bahkan telah menyebabkan beberapa satwa liar terancam kepunahan (Alikondra, 1990)

.

Salah satu satwa liar yang memperkaya keanekaragaman jenis satwa di Indonesia adalah penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Menurut IUCN satwa ini dikategorikan kritis (Critically Endangered) dengan tren populasinya semakin hari semakin menurun (Pop. trend: decreasing). Penyu Belimbing termasuk satwa dilindungi sebagaimana diatur dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix 1.

Setiap satwa liar memiliki nilai. Nilai intrinsik dan beberapa nilai pemanfaatan seringkali tidak berjalan secara bersamaan. Nilai pemanfaatan yang dilakukan secara berlebihan dapat mengancam nilai intrinsik yang dimiliki oleh satwa liar.

Oleh karena itu, pemahaman mengenai suatu satwa sangat menentukan terhadap upaya pengelolaannya. Dengan diketahui nilainya maka diharapkan upaya pengelolaan terhadap satwa khususnya penyu belimbing bisa lebih intensif mengingat jumlahnya yang semakin menurun.

1.2.TUJUAN

Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui nilai-nilai dari Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) baik nilai pemanfaatan, nilai intrinsik, dan nilai pilihan masa depan.

1.3. MANFAAT PENULISAN

Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam menyediakan informasi tentang nilai-nilai satwa liar bagi yang membutuhkan, selain itu menambah pengetahuan dan kesadaran berbagai pihak akan pentingnya menjaga eksistensi satwa karena setiap satwa memiliki nilai-nilai sehingga layak dipertahankan.

1.4. PERUMUSAN MASALAH

Jumlah penyu yang berkurang akibat perburuan liar untuk diambil daging, cangkang dan telurnya. Sehingga semakin lama keberadaan penyu belimbing pun semakin sedikit. Pencemaran laut juga menjadi sebuah masalah besar. Sampah plastik yang dibuang ke laut menjadi makanan penyu belimbing. Itu karena sampah tersebut mirip dengan ubur-ubur kesukaan hewan itu. Sebagai pemangsa utama ubur-ubur, penyu belimbing menjadi pengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di alam dan populasi ubur-ubur pun bertambah. Jika ubur-ubur bertambah banyak bisa menyebabkan penurunan populasi ikan karena ubur-ubur adalah pemangsa utama larva ikan tersebut. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya pelestarian penyu belimbing. Penurunan populasi penyu belimbing belakangan ini harus ditanggapi dengan serius. Pada beberapa individu di dalam perutnya ditemukan 11 pon (5kg) (nationalgeographic.com). Kepunahan suatu spesies bukanlah sesuatu yang diharapkan, apalagi jika spesies tersebut merupakan spesies yang penting bagi ekosistem.

Ulah manusia yang seringkali mengancam keberlangsungan penyu belimbing salah satunya didasarkan oleh nilai-nilai satwa ini menurut perspektif masing-masing individu yang bersinggungan dengannya. Ancaman yang timbul biasanya berkaitan dengan nilai konsumtif , guna produksi, dan kebudayaan yang dimiliki oleh penyu belimbing. Dengan diketahui nilai dari satwa serta pemahaman yang memadai tentang satwa tersebut diharapkan manusia dapat melestarikan satwa yang sudah masuk kedalam kategori kritis (IUCN redlist) ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Orang Indonesia menyebutnya penyu belimbing karena cangkang tubuhnya berbentuk buah belimbing, yakni tidak rata dan bergaris-garis menonjol. Di mancanegara, penyu yang dilindungi ini tenar dengan sebutan leatherback turtles. Sedangkan dalam dunia sains ia disebut Dermochelys coricea. Nama famili dermochelys berasal dari bahasa Yunani yaitu derma berarti kulit dan chelys artinya penyu. Nama spesies coricea juga merujuk pada bahasa Yunani, corium berarti kulit lembu (puailiggoubat.com, 2010). Mempunyai punggung yang diliputi kulit kuat dari zat tanduk yang disebut karapas. Karapas penyu ini tidak bersisik, tetapi ada lima sampai tujuh garis tebal yang memanjang dari leher sampai ekor. Panjang karapas mencapai 2,5 m dengan berat mencapai 1500 Kg, umurnya dapat mencapai 200 tahun lebih.

Ketika saatnya, seekor penyu betina akan merangkak naik ke pantai untuk bertelur, hingga empat kali sepanjang satu musim bertelur. Sekali bertelur, satu penyu rata-rata menghasilkan 40-50 telur. Untuk melindungi dari predator, ia mengubur telurnya. Ketika mengubur telurnya, sirip depannya mengais-ngais pasir dan mengarahkan ke bagian belakang, membuat gundukan kecil diatas lobang, sedangkan bagian sirip kakinya nampak melakukan gerakan-gerakan memadatkan tanah. Penyu betina umumnya bertelur jika mereka sudah mencapai umur 10 tahun. Sayangnya, dari puluhan telur yang dihasilkan, hanya ada satu tukik (bayi penyu) yang mampu bertahan hingga dewasa (10 tahun)(WWF,2010). Musim kawin penyu ini berlangsung dari bulan Juni sampai Agustus. Penyu ini menggali pasir kira-kira 50 cm dalamnya dengan diameter 50 cm. Kemudian mereka bertelur dalam lubang dan menimbunnya kembali dengan pasir. Kegiatan in dilakukan kira-kira selama 2½ jam. Pasir itu kemudian mengerami sendiri telur-telur itu selama 6-8 minggu sampai menetas menjadi tukik yang keluar dari sarang untuk kemudian merangkak ke laut. Satwa yang beratnya bisa mencapai 600-900 kg selalu punya kehidupan yang berbeda dari penyu lainnya. Saat baru menetas beratnya kurang dari 200 gram dan penyu kecil tersebut langsung berenang ke laut lepas. Ia baru kembali ke daratan setelah berat badannya mencapai sekitar 600 kg, hanya untuk bertelur. Hanya penyu betina dewasa yang ke daratan selama sekitar tiga jam dalam setiap masa bertelur lalu kembali ke laut, dan naik lagi ke daratan untuk bertelur 2-3 tahun kemudian.

Penyu belimbing telah bertahan hidup selama lebih dari ratusan juta tahun, kini spesies ini menghadapi ancaman kepunahan. Selama dua puluh tahun terakhir jumlah spesies ini menurun dengan cepat, khususnya di kawasan pasifik, hanya sekitar 2.300 betina dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan penyu belimbing pasifik menjadi penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Di kawasan Pasifik, seperti di Indonesia, populasinya hanya tersisa sedikit dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 28 Agustus 2006 tiga negara yaitu Indonesia, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat penyu belimbing melalui MoU Tri National Partnership Agreement (wwf.or.id, 2006).

Termasuk satu dari tujuh spesies penyu dunia, penyu belimbing senang berdiam di kawasan pantai yang gelap dan sunyi. Ketika bertelur penyu betina mencari pasir untuk menyimpannya. Biasanya musim bertelur penyu betina ini adalah sekitar musim semi. Mereka kerap mampir di sepanjang pantai Thailand, Suriname, Malaysia, Sulawesi dan beberapa kawasan pesisir Amerika Selatan. Mereka menyukai kawasan laut yang masih memiliki banyak terumbu karang dan berhawa hangat. Di Indonesia, penyu belimbing terkadang masih bisa dijumpai di pesisir Sulawesi, Bali, Papua, dan Tasikmalaya. Penyu ini termasuk perenang hebat karena mampu mengembara sejauh 3.000 kilometer. Walau memiliki kekuatan mengagumkan, makanan penyu ini hanya ubur-ubur laut. (puailiggoubat.com,2010)

Dewasa ini keberadaan Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dikategorikan ke dalam satwa yang langka. Penyu Belimbing - disebut juga Leatherbacks turtle - dilindungi sebagaimana diatur dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix 1- Species threatened with extinction (spesies yang terancam punah). Saat ini diperkirakan hanya sekitar 2.300 penyu betina dewasa yang tersisa diseluruh Samudera Pasifik. Menurut IUCN satwa ini dikategorikan kritis (Critically Endangered) dengan trend populasinya semakin hari semakin menurun (Pop. trend: decreasing).

Di kawasan Pasifik, seperti di Indonesia, populasinya hanya tersisa sedikit dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada tahun 1984).

Di Indonesia, satwa ini dikategorikan sebagai satwa yang langka yang disebabkan beberapa hal antara lain predator alami (babi hutan dan anjing hutan), kapal ikan yang beroperasi di bagian lautan Pasifik dan lautan Aru,dan kerusakan habitatnya tempat bertelur penyu ini yang disebabkan kebiasaan warga sekitar dalam menambang pasir dan perburuan secara liar (wwf.or.id, 2010). Nilai yang terkandung dalam satwa ini sangat beranekaragam oleh karena itu pemahaman tentang satwa ini sangat menentukan perlakuan manusia terhadap satwa ini. Apabila dibiarkan, maka keberadaan satwa ini akan semakin terancam. Berikut ini disajikan taksonomi dari satwa ini (IUCN red list):

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Class : Reptilia
Ordo : Testudines
Famili : Dermochelyidae
Spesies :
Dermochelys coriacea

Nilai dan kepantasan melakukan pengelolaan dan konservasi satwa liar diantaranya adalah nilai-nilai sebagai berikut

1. Nilai konsumsi

Manusia memanfaatkan satwa liar dari mulai dagingnya, kulit, tanduk, tulang maupun bulunya.

2. Nilai rekreasi kegiatan berburu

Satwa liar dapat dijadikan obyek rekreasi berburu yang sangat menarik dan sangata disenangi masyarakat. Di Amerika Serikat kegiatan rekreasi berburu dan memancing ikan sangat berkembang dengan baik. Wilayah tempat berburu dan memancing telah dibina dan dikembangkan secara intensif sehingga banyak menarik pengunjung.

3. Nilai keindahan dan etika

Satwa liar yang hidup liar di alam bebas merupakan pemandangan yang indah dan khas serta mempunyai nilai seni yang sangat tinggi.

4. Nilai dalam ilmu pengetahuan

Jika ditinjau dari segiilmu pengetahuan, maka satwa liar dapat dijadikan obyek penelitian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ekologi, biologi, fisiologi dan taksonomi. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, satwa liar mempunyai fungsi-fungsi :

a. Satwa liar sebagai “gene resources” atau “gene reserves” yang sangat bermanfaat dalam penelitian bidang pemuliaan suatu jenis.

b. Untuk mencukupi kebutuhan protein hewani yang semakin meningkat, maka perlu juga dipikirkan cara pemanfaatan satwa-satwa liar seperti rusa untuk dijadikan ternak potong.

c. Dalam bidang kedokteran, satwa liar juga memegang peranan peting. Sebagian satwa liar sangat diperlukan dalam dunia obat-obatan.

d. Dalam dunia teknologi angkasa luar, jenis primata sering dipergunakan sebagai makhluk percobaan untuk angkasa luar.

e. Dalam bidang pembinaan satwa liar baik yang ada di suaka margasatwa maupun taman nasional,kegiatan penelitian memegang peranan yang sangat penting.

f. Dalam hubungannya dengan aspek kesehatan manusia dengan ternak, penyakit satwa liar juga perlu mendapat perhatian untuk diteliti, karena adanya kemungkinan bahwa satwa liar sebagai pembawa liar sumber penyakit yang dapat ditularkan ke ternak ataupun manusia.

g. Satwa liar juga mempunyai peranan yang besar didalam keseimbangan biologis dari suatu ekosistem. Didalam keseimbangan biologis ada sistem perputaran energi( siklus energi) yang dapat dilihat pada struktur makanan.( Hadi,1979)

BAB III

ISI

Pengelolaan terhadap satwa liar oleh manusia disebabkan oleh nilai yang terkandung dalam satwa liar tersebut. Satu spesies dapat memiliki lebih dari satu nilai. Persepsi nilai suatu satwa pada setiap orang berbeda-beda tergantung sudut pandang dalam menilainya. Persepsi dalam memandang niai suatu satwa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dll. Nilai yang akan dibahas lebih lanjut terkhusus untuk nilai yang terkandung pada Penyu belimbing (Dermochelys coriacea).

a. Nilai Pemanfaatan

- Nilai Konsumsi.

Nilai konsumsi merupakan nilai poduk yang merujuk pada pemanfaatan satwa secara langsung. Penyu belimbing dimanfaatkan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan protein dari telurnya (nationalgeographic.com) dan daging dari penyu ini diambil untuk dikonsumsi.

- Nilai guna produksi.

Nilai guna produksi merujuk pada pemanenan satwa liar untuk keperluan komersial.

Cangkang dari penyu berukuran besar ini kerap diburu untuk diawetkan dan dijadikan hiasan para kolektor. Cara pengawetannya menggunakan air keras, jadi diduga mereka dikeraskan dalam keadaan hidup-hidup. Semakin besar ukuran penyu belimbing yang dikoleksi, semakin tinggi harga dan prestise kolektornya (puailiggoubat.com, 2010). Selain itu terkadang telur dan daging penyu yang diambil tidak dikonsumsi secara langsung tapi untuk dijual dipasar.

- Nilai Jasa Ekosistem.

Nilai Jasa Ekosistem merujuk pada nilai satwa liar dalam ekosistem.

Keberadaan Penyu Belimbing sebagai spesies kunci pengontrol populasi ubur-ubur. Sebagai pemangsa utama ubur-ubur, penyu belimbing menjadi pengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di alam dan populasi ubur-ubur pun bertambah. Jika ubur-ubur bertambah banyak bisa menyebabkan penurunan populasi ikan karena ubur-ubur adalah pemangsa utama larva ikan tersebut. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya pelestarian penyu belimbing.

Penurunan populasi penyu belimbing belakangan ini harus ditanggapi dengan serius. Kepunahan suatu spesies bukanlah sesuatu yang diharapkan, apalagi jika spesies tersebut merupakan spesies yang penting bagi ekosistem.

- Nilai Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan.

Adanya satwa liar sebagai sumber kajian untuk menjawab-jawab proses alam dan sebagai objek penelitian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Tidak banyak informasi yang diketahui tentang Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk bermigrasi menjelajahi samudera. Oleh karena itu para Peneliti berusaha untuk menyelidiki pola migrasi dari penyu belimbing ini. Pola distribusi penyu dapat dijadikan indikator kondisi ekosistem perairan.

Para peneliti dapat mengetahui pencemaran bahan kimia beracun dengan memanfaatkan penyu belimbing. Penyu yang bermigrasi berpotensi menghadapi keracunan kumulatif dari berbagai bahan kimia beracun yang menyusup pada rantai makanan penyu belimbing (satwaunik.com, 2011). Keracunan ini bisa diteliti sehingga bahan kimia apa saja yang mencemari perairan sekaligus mengetahui dampaknya terhadap penyu belimbing.

- Nilai Kebudayaan.

Nilai yang banyak melekat pada suku-suku yang hidup secara tradisional.

Pemanfaatan penyu belimbing yang dikenal juga dengan nama lokal Tabob menurut masyarakat adat Nu Fit Roah (di kawasan pesisir barat Pulau Kei) yang didasari pada anggapan masyarakat tradisional bahwa tabob sebagai Tad ( tanda), Ub (leluhur) dan makanan pusaka mereka. Hal ini membuat perburuan Tabob tanpa memperhatikan kelestariannya (malukutenggarakab.go.id).

- Nilai Rekreasi

Nilai yang didapat dengan merasakan kekaguman ketika bertemu satwa liar.

Penyu belimbing terkenal tidak saja karena populasinya telah amat jarang, akan tetapi juga merupakan jenis terbesar dari 7 spesies penyu laut yang ada sehingga menarik minat banyak orang untuk melihatnya (Susanto, 1978). Kedatangan penyu di suatu kawasan untuk bertelur menarik minat masyarakat mengingat satwa liar ini termasuk ke dalam satwa yang hampir punah dan keberadaannya di Pantai sangatlah jarang ditemui (2-3 tahun sekali). Penyu ini dapat dijadikan daya tarik wisatawan baik lokal maupun asing untuk berwisata bahari.

b. Nilai Intrinsik

Nilai yang ada karena keberadaan satwa itu sendiri. Nilai intrinsik penyu belimbing dapat dipandang dengan etika biosentris, di mana manusia harus melakukan manipulasi terhadap lingkungan penyu belimbing. Manipulasi harus dilakukan agar populasi satwa lain tetap terkontrol sperti populasi ubur-ubur dan populasi tingkat trofik sebelumnya.

c. Nilai pilihan masa depan

Nilai yang memungkinkan untuk dapat digunakan dimasa yang akan datang.

Mangsa alami penyu belimbing yang berupa ubur-ubur menunjukkan ketahanan penyu dari sengatan ubur-ubur. Hal ini bisa dimanfaatkan manusia untuk mensintesis produk yang sama dengan yang dimiliki penyu agar manusia bisa kebal dari sengatan penyu.

Benturan Nilai Pemanfaatan dan Nilai Intrinsik

Nilai intrinsik dari penyu belimbing masih berlawanan dengan beberapa nilai pemanfaatan. Nilai pemanfaatan yang berlawanan ini adalah nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan. Sedangkan nilai jasa ekosistem, ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta nilai rekreasi justru dapat mendukung nilai intrinsik dari penyu belimbing.

Telur-telur penyu banyak menarik perhatian makhluk hidup lain, tidak hanya satwa-satwa liar seperti babi hutan dan anjing hutan, melainkan juga manusia. Pengambilan telur penyu terjadi karena nilai konsumtif dan guna produksi dari penyu belimbing. Masyarakat membutuhkan telur-telur untuk memenuhi kebutuhan proteinnya (nilai konsumtif) dan juga dijual (nilai guna produksi). Padahal jumlah penyu belimbing terus mengalami penurunan. Di seluruh dunia, pantai di Jamursba Medi yang berada di Papua merupakan salah satu tempat yang sering dijadikan penyu belimbing untuk bertelur. Jadi pemerintah Indonesia harus memperketat pengelolaan kawasan ini agar proses bertelur dan penetasan penyu tidak mengalami hambatan.

Nilai kebudayaan pada masyarakat adat Nu Fit Roah awalnya merupakan ancaman bagi penyu belimbing. Namun dewasa ini perburuan penyu yang dikarenakan nilai kebudayaan sudah mulai menurun, hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah dan populasi penyu belimbing yang semakin sedikit. Sehingga masyarakat sadar akan pentingnya penyu belimbing atau yang mereka sebut tabob bagi mereka (malukutenggarakab.go.id). Hal inilah yang membuat penulis menganggap bahwa nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan bisa mengancam nilai intrinsik.

Ada juga ancaman terhadap penyu yang bukan didasarkan oleh nilai yang dimiliki penyu belimbing, melainkan karena ketidaksengajaan atau kurang pekanya manusia terhadap keberadaan penyu. Ancaman itu adalah seringnya penyu tersangkut jaring nelayan dan sampah-sampah plastik yang tertelan oleh penyu.

Akibat tersangkut jaring nelayan, nelayan sering mengalami kerugian karena jaringnya menjadi rusak. Penyu belimbing yang tersangkut oleh jaring sebenarnya masih bisa dilepaskan, namun di Trinidad banyak nelayan memilih untuk membunuh penyu belimbing yang tersangkut di jaring nelayan (nationalgeographic.co.id, Mei 2009).

Pembuangan limbah sampah plastik merupakan tingkah laku yang buruk dari manusia yang masih mengelola sampah dengan buruk dan tanpa disadari sampah plastik ini menjadi berbahaya ketika dimakan oleh penyu belimbing. Penyu mengira sampah itu adalah ubur-ubur. Selain plastik, limbah yang juga berbahaya adalah limbah bahan-bahan kimia. Penyu yang bermigrasi berpotensi menghadapi keracunan kumulatif dari berbagai bahan kimia beracun yang menyusup pada rantai makanan penyu belimbing (satwaunik.com, 2011).

Semakin banyak orang yang mengambil nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan dari penyu belimbing maka nilai intrinsik dari penyu belimbing sebagai pengontrol keberadaan spesies lain akan berkurang. Padahal nilai intrinsik penyu belimbing sangat penting bagi ekosistem. Tindakan-tindakan manipulasi oleh manusia untuk menjaga nilai intrinsik penyu harus bersamaan pula dengan pengendalian pemanfaatan nilai konsumsi, guna produksi dan kebudayaan penyu belimbing.

Upaya pelestarian penyu tidak cukup hanya dilakukan oleh satu negara saja. Hal ini dikarenakan oleh wilayah jelajah penyu yang sangat luas. Penyu belimbing ini dapat menjelajah hingga jauhnya bermil-mil. Penyu belimbing ini mencari akan dan akan kembali ke tempat asalnya sekitar 5 tahun lagi. Di banyak negara sudah banyak dilakukan upaya untuk mencegah kepunahan penyu belimbing. Negara-negara itu antara lain Malaysia, Amerika Serikat, Papua Nugini, Kep. Solomon dan Australia. Di Indonesia sendiri, penyu belimbing sudah dilindungi sejak tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pertanian no. 327/Kpts/Um/5/1978 (Prihanta, 2007).

Upaya-upaya pelestarian yang dapat diterapkan di negara-negara yang bersinggungan secara langsung dengan habitat maupun jalur migrasi penyu belimbing antara lain:

· mengidentifikasi dan melindungi koridor migrasi penyu,

· membuat kesepakatan dengan komunitas-komunitas nelayan setempat

· mengontrol predasi terhadap telur maupun penyu dewasa

· menumbuhkan kesadaran masyarakat lokal yang berdekatan dengan lokasi tempat penyu bertelur agar bisa ikut meningkatan angka penetasan telur penyu belimbing

Dengan meningkatnya kesadaran manusia terhadap nilai-nilai penyu belimbing maka upaya-upaya pelestarian penyu belimbing tidak hanya datang dari kalangan pecinta lingkungan melainkan banyak pihak bisa turut bekerjasama untuk menyelamatkan spesies penyu belimbing (Dermochelys coriacea).

BAB III

KESIMPULAN

1. Nilai pemanfaatan yang berpotensi mengancam nilai intrinsik penyu belimbing adalah nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan.

2. Kegiatan konservasi penyu belimbing perlu ditingkatkan mengingat jumlah populasi yang semakin terancam kepunahan sehingga nilai intrinsik dapat dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA

Alikondra. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Bogor: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi IPB

Kodra, Hadi Ali. 1979. Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa Bagian III. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Prihanta, Wahyu. 2007. Problematika Kegiatan Konservasi Penyu di Taman Nasional Meru Betiri. Malang : Laporan Penelitian, Penelitian Pengembangan IPTEK, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang.

Sowelo,Ismu Susanto.1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka. Bogor: direktorat perlindungan dan pengawetan alam

DAFTAR LAMAN

Anonim. Bahan Kimiawi Menjadi Ancaman Bagi Penyu Belimbing. http://www.satwaunik.com/informasi-umum/bahan-kimiawi-menjadi-ancaman-bagi-penyu-belimbing/. Senin, 16 Mei 2011.06.03 .

Anonim. Fakta tentang Satwa di Indonesia. http://www.profauna.org/content/id/fakta_satwa.html Profauna-indo. Senin, 16 Mei 2010. 04.00

Anonim. Leatherback Sea Turtle Dermochelys coriacea. http://animals.nationalgeographic.com/animals/reptiles/leatherback-sea-turtle/. Minggu, 16 Mei 2011. 00.44

Anonim. 2010. Penyu Belimbing Meski Beracun Tetap Diburu. http://www.puailiggoubat.com/?kanal=berita&id=5865. Selasa, 10 Mei 2011 .09.00

Anonim. 2011. Penyu Belimbing Yamursbamedi Terancam Punah. http://www.antaranews.com/berita/257547/penyu-belimbing-yamursbamedi-terancam-punah. Selasa, 10 Mei 2011. 09.00

Anonim. 2011. Penyu Belimbing Raksasa Terdampar di Ipuh. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/14/brk,20110214-313320,id.html . Rabu, 11 Mei 2011 .20.00

Appenzeller, Tim. Pelaut Purba. http://nationalgeographic.co.id/featurepage/85/pelaut-purba/1. Sabtu, 14 Mei 2011. 19.30

Kabupaten maluku Tenggara. 2010. Penyu Belimbing. http://www.malukutenggarakab.go.id/index.php/pariwisata/242-penyubelimbing. Rabu, 11 Mei 2011 20.00

Sarti Martinez, A.L. 2000. Dermochelys coriacea. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. Minggu, 8 Mei 2011 pukul 13.00.

Suradji, Devi. 2010. Ketika penyu belimbing mendarat ke pantai .kembali.http://www.wwf.or.id/berita_fakta/highlights/hg_by_marine.cfm?19782/Leatherback-turtles-are-back-for-nesting-season. Selasa, 10 Mei 2011 pukul 09.00 WIB