Tuesday, April 17, 2012

Tantangan Implementasi REDD/REDD+

Pendahuluan

Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) atau Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan adalah mekanisme yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi dengan menyediakan insentif finansial untuk mengkonversi hutan daripada mengeksplotasinya (J. Ebeling, M. Yasué, 2008 dalam Ghazoul et al, 2010).  Lalu muncul istilah REDD+ yang menambah cakupan dari REDD, tambahan itu adalah pengelolaan hutan lestari, konservasi, dan peningkatan penyerapan karbon (Angelsen, 2010)

Lahirnya REDD dan REDD+

Perubahan iklim merupakan masalah lingkungan yang banyak dibicarakan oleh masyarakat dunia dekade belakangan ini. Berbicara tentang perubahan iklim erat kaitannya dengan konsentrasi Gas rumah kaca (GRK). GRK—termasuk di dalamnya adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (NO2), dan uapa air (H2O)—yang terdapat di bumi membuat suhu di permukaan bumi menjadi lebih hangat. Namun aktivitas manusia sejak revolusi industri yang menyebabkan makin banyaknya GRK yang lepas ke atmosfer, membuat konsentrasi GRK menjadi lebih banyak. Akibatnya suhu bumi meningkat dan banyak perubahan-perubahan yang terjadi akibat dari kenaikan suhu itu, antara lain berubahnya pola distribusi hujan, kenaikan permukaan air laut, berubahnya distribusi vegetasi, dan juga terancamnya keanekaragaman hayati. Hal ini dirasakan sebagai ancaman bagi kehidupan di bumi. Oleh karena itu penduduk dunia berpikir keras untuk mengatasi permasalahan ini.
           
Perubahan iklim—lepas dari kontroversi mengenai isu ini—memaksa negara-negara di seluruh dunia untuk duduk bersama untuk melakukan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi demi kelangsungan kehidupan di muka bumi. Dua puluh tahun di Rio De Janeiro (Brazil, 1992) yang lalu merupakan tahun yang bersejarah bagi seluruh dunia yang kaitannya dengan komitmen bersama untuk menerima rencana-rencana yang berkaitan dengan konservasi lingkungan dengan tetap melaksanakan pembangunan untuk mensejahterakan umat manusia di bumi ini.

            Dari KTT Bumi yang dilaksanakan di Brazil, seperti disebutkan di atas, lahirlah UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) atau Kerangka PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim. Tujuan utama konvensi ini tercantum pada Pasal 2, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim (Murdiyarso, 2003).
             
Sektor kehutanan masuk dalam Protokol Kyoto, melalui Pasal 3.3:
The net changes in greenhouse gas emissions by sources and removals by sinks resulting from direct human-induced land-use change and forestry activities, limited to afforestation, reforestation and deforestation since 1990, measured as verifiable changes in carbon stocks in each commitment period, shall be used to meet the commitments under this Article of each Party included in Annex I. The greenhouse gas emissions by sources and removals by sinks associated with those activities shall be reported in a transparent and verifiable manner and reviewed in accordance with Articles 7 and 8.

Pasal di atas adalah upaya untuk menambahkan pengurangan emisi dari sektor kehutanan—termasuk juga alih guna lahan—dalam pengurangan emisi gas rumah kaca global.

Di tingkat internasional, muncul pendapat mengenai kontribusi perubahan lahan, perubahan tata guna lahan, serta sektor kehutanan menyumbang emisi yang besar terhadap peningkatan gas rumah kaca. Kontribusi utama peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari perubahan lahan dan perubahan tata guna lahan (kebakaran hutan, penebangan liar, degradasi lahan gambut, penggundulan hutan, dan lain sebagainya) (Tumiwa, 2010). The UK’s 2006 Stern review on the Economic of Climate Change memperkirakan perubahan penggunaan lahan – dan khususnya deforestasi – bertanggung jawab untuk 18% dari emisi global. (HM Treasury, 2006 dalam Roe, 2010). 

Dalam Protokol Kyoto, melalui CDM (Clean Development Mechanism), muncul skema LULUCF (Land Use, Land Use Change, and Forestry) yang mengatur mengenai kontribusi sektor-sektor yang termasuk di dalam LULUCF dalam mengurangi emisi global.

Di Indonesia,  ada informasi yang menunjukkan bahwa emisi dari sektor kehutanan juga sangat besar untuk keseluruhan emisi dalam negeri. Sekitar 60% emisi Indonesia saat ini berasal dari deforestasi, degradasi, dan konversi lahan gambut (Boer et al., 2009 dalam Brockhaus et al, 2012). Memang harus diakui, tingkat deforestasi di Indonesia di Indonesia memang sangat besar. Tahun 2005, FAO menyebutkan bahwa tingkat deforestasi di Indonesia adalah 1,8 juta ha per tahun (2 persen) tiap tahun antara periode 2000-2005.

Hutan tropis dianggap sebagai hutan yang paling potensial dalam penangkapan dan penyimpanan karbon. Hal ini dianggap efektif untuk mengurangi kepadatan karbon di atmosfir. Sehingga perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan tutupan hutan tropis dan mengurangi deforestasinya (Brown, 1999; Malhi, 2002; Patosaari, 2007 dalam Aydin dan Cukur).

Pada CoP 11 (November 2005), Costa Rica dan Papua Nugini mengusulkan adanya pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang atau dikenal dengan RED (Reducing Emission from Deforestation). Baru setelah CoP 13 tahun 2007 di Bali, REDD muncul sebagai skema yang dianggap mampu menjadi bagian dalam upaya pengurangan emisi global dengan menempatkan . Selanjutnya pada tahun 2008 REDD+ (plus) diperkenalkan dengan tambahan cakupan yaitu konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon.


Kriteria Penilaian REDD

Kriteria 3E (keefektifan, efisiensi dan kesetaraan) merupakan kriteria umum untuk menilai pilihan dan hasil, dan semakin banyak dipakai untuk menilai pilihan kebijakan mitigasi iklim. Sedangkan kriteria 3E+ menunjukkan bahwa ada “manfaat tambahan” seperti pengurangan kemiskinan dan keanekaragaman hayati (Angelsen, 2010). Menurut Angelsen dan Wertz-Kanounnikoff (2008 dalam Angelsen,2010), ketiga kriteria di atas dijelaskan sebagai berikut:
1) Keefektifan. Sebuah evaluasi awal tentang keefektifan sebuah proposal akan mempertimbangkan beberapa kriteria tambahan seperti kedalaman dan nilai tambahan, rentang dan cakupan, keluwesan dan kekuatan, kendali atau pencegahan kebocoran, kekekalan dan liabilitas, dan sejauh mana suatu tindakan mengatasi penyebab pokok deforestasi dan degradasi, termasuk tata kelola dan korupsi juga menjadi pertimbangan yang penting.

2) Efisiensi mempertimbangkan biaya pengadaan termasuk penguatan kemampuan, biaya berjalan untuk keuangan dan sistem informasi (MRV), kompensasi untuk kehilangan pendapatan (biaya imbangan) dan nilai sewa (nilai sewa adalah transfer dikurangi biaya) serta biaya implementasi dari pemilik, pengelola dan pengguna lahan hutan.

3) Kesetaraan mempertimbangkan berbagai skala yang berbeda (global, nasional, subnasional), dan berbagai kelompok pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan pendapatan, sejumlah aset seperti lahan, etnis, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Dalam menilai kesetaraan, juga terdapat perbedaan antara nilai sewa REDD+, transfer rata-rata dan biaya tindakan. Perdebatan sekarang umumnya lebih menyoroti pembagian manfaat (transfer) daripada masalah pendistribusian biaya Kebanyakan program REDD+ tidak membayar langsung kepada pemilik dan pengguna lahan hutan, tetapi akan menimbulkan  biaya atau kehilangan suatu peluang. Misalnya, sejumlah kebijakan untuk menurunkan permintaan bahan bakar kayu akan menyebabkan hilangnya pendapatan bagi produsen arang. Biaya semacam itu seharusnya juga ikut dipertimbangkan.

Untuk menjamin tercapainya 3E+ maka perlu dilakukan perumusan kerangka REDD nasional.  Kerangka REDD+ nasional dapat dilihat sebagai suatu struktur kelembagaan yang menentukan  kemampuan dan tanggung jawab berbagai pelaku yang terlibat dan aturan untuk  interaksinya (Angelsen, 2010).

Tugas yang harus dipenuhi oleh kerangka REDD+ nasional ialah tanggung jawab dan koordinasi secara keseluruhan, penyaluran pendanaan internasional, MRV (pemantauan, pelaporan, dan pembuktian) serta pengamanan (Angelsen, 2010).

Tanggung jawab dan koordinasi secara keseluruhan berada pada pemerintah yang harus bisa menjalankan berbagai fungsi, yaitu strategi REDD nasional, melaksanakan strategi, identifikasi para pelaku, integrasi rencana pembangunan rendah karbon dan juga strategi pembangunan lainnya, dan peran penting lainnya.

Untuk penyaluran dana internasional, tugas yang harus dilakukan untuk kerangka REDD nasional adalah menyangkut sumber daya untuk pengesahan kebijakan, proyek, maupun program REDD; penetapan sistem pembayaran insentif; pembagian manfaat yang sah, pendataan untuk transparansi dan akuntabilitas pendanaan.

Pemantauan dan pelaporan merupakan aspek yang penting dalam kerangka REDD nasional dan termasuk yang cukup sering diperbincangkan. Cakupan tugas untuk pelaksanaan MRV adalah standar nasional untuk pengukuran cadangan karbon hutan, penetapan organisasi independen yang mampu melaksanakan pemantauan dan pembuktian informasi, MRV lintas sektoral dan skala, sistem MRV non karbon, sistem yang akuntabel dan transparan, dan juga menyangkut pelaporan kepada pihak yang memiliki kewenangan.

Pembuktian dan pengamanan berkaitan dengan  tugas dalam memastikan MRV agar sesuai standar, memastikan pengurangan emisi yang layak mendapat insentif, pengamanan sosial dan lingkungan dan juga pengawasan prosedur pengawasan keluhan.


Pilihan pendanaan REDD
Secara singkat pilihan pendanaan dapat dilihat pada gambar 1. Ada empat pilihan pendanaan REDD. Pilihan pertama adalah pendanaan berbasis proyek, pilihan kedua adalah dana nasional dengan adminstrasi terpisah dan independen, pilihan ketiga adalah dana nasional di dalam administrasi negara, dan yang keempat adalah dukungan anggaran reguler (Angelsen, 2010).

Gambar 1

Salah satu contoh bantuan dana guna mendukung implementasi REDD+ adalah LoI (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dan Norwegia pada tahun 2010 lalu, Indonesia mendapatkan $ 1 milyar dolar untuk pelaksanaan moratorium hutan (jeda tebang) terutama di hutan alam primer dan lahan gambut. Hal ini berlaku untuk konsesi-konsesi baru, sedangkan konsesi yang sudah ada tetap bisa menjalankan aktivitas penebangan.

Namun perwakilan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan juga industri pulp dari swasta menyatakan keprihatian terkait maksud dari moratorium (Brockhaus, 2012). Mereka mengklaim moratorium akan berpengaruh negatif  terhadap penerimaan pajak, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan tenaga kerja dan pembangunan infrastruktur (Azly, 2010; InfoSawit, 2010 dalam Brockhaus, 2012).

Kementerian Keuangan (2009 dalam Roesad, 2010)  merekomendasi pembentukan mekanisme keuangan regional untuk aktivitas penanganan prubahan iklim, dan secara khusus untuk membuat mekanisme aliran dana REDD. Dalam hal ini menekankan pada otoritas penuh dari pemerintah daerah. Sedangkan fungsi dari pemerintah pusat adalah sebagai penghubung utama dengan aspek internasional maupun nasional skema itu (Kementerian Keuangan, 2009 dalam Roesad, 2010)

Implementasi REDD di Indonesia
1) Aktor dari instansi pemerintah
Banyak aktor yang terlibat dalam skema REDD di Indonesia. Dalam pelaksanaan REDD+, ada 10 instansi pemerintah yang dilibatkan, yaitu UKP4, Satuan tugas REDD+, Kementerian Kehutanan, Kementerian LH, Kementerian dalam negeri, BPN, BKPRN, Bakosurtanal, Gubernur dan Bupati atau Walikota. (Brockhaus et al, 2012). Kesepuluh instansi memiliki peran yang berbeda-beda untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia.

2) Proyek Percontohan (Demonstration Activities )
Sampai ini di Indonesia, Saat ini ada sekitar 44 proyek percontohan atau demonstration activities REDD+ di Indonesia. Proyek tersebut berlokasi di Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan beberapa daerah lainnya. Proyek percontohan bertujuan untuk mempelajari REDD+ sebelum dilakukan penerapan berskala luas. Lembaga yang terlibat dalam proyek ini bervariasi, ada yang dari NGO, BUMN, perusahaan swasta, elemen pemerintah negara lain, dan juga pemerintah daerah. (REDD-I)

Kebaikan REDD
            REDD merupakan sebuah mekanisme yang masih mendapatkan perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Dukungan banyak pihak terkait pelaksanaan skema ini juga sangat besar. Implementasi pun dilakukan dari mulai tingkat internasional, nasional, hingga daerah.

            REDD sebuah skema yang inovatif untuk memberikan oppurtinity cost bagi pihak-pihak yang harus memelihara hutan. Skema ini cukup menjanjikan bahkan sampai tingkat individu, tidak lagi hanya untuk kepentingan elit-elit pemerintahan.

            REDD memberikan kesempatan bagi semua masyarakat dunia untuk ikut terlibat memelihara paru-paru dunia yang berada di negara-negara berkembang. Sekaligus mendukung upaya negara yang memiliki hutan untuk terus memelihara kelestarian hutan namun tetap mendapatkan manfaat dari insentif yang diberikan oleh berbagai pihak yang telah diatur di dalam skema REDD.
           
REDD juga menjadi penting dalam proses transfer pengetahun dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang, terutama menyangkut pengelolaan hutan. 

           
Tantangan REDD
Tantangan yang dihadapi dalam Implementasi REDD (Ghazoul, 2010)  :
a)      Etika yang dilematis: Hal ini memungkinkan negara-negara kaya melakukan “cuci tangan” atas ganti rugi emisi karbon yang mereka hasilkan dengan kredit REDD. Bahkan hal ini akan menghindarkan mereka dari kerugian besar, misalnya saja Norwegia. Norwegia terhindar dari kerugian yang besar jika memberikan bantuan untuk pengurangan emisi di hutan tropis, dibandingkan harus mengurangi emisi di negaranya sendiri.
Menurut Maryudi (2012), jika mereka masih diwajibkan mengurangi emisi di negaranya hingga 5%, merek akan rugi sebesar 22 milyar dolar. Namun dengan membayar 1 milyar untuk REDD, mereka bisa terlepas dari kewajiban dan kerugian yang besar. 

b)      Tambahan (Additionality): Tambahan adalah kriteria utama untuk menilai cadangan karbon. Tambahan dihitung berdasarkan tingkat deforestasi dan emisi sebelum proyek REDD dimulai (kondisi awal, baseline). Teknis dalam penetapan tingkat deforestasi saat kondisi awal rawan dipolitisasi. Hal ini bisa merugikan negara yang sudah mempertahankan hutan sebelum awal proyek REDD dimulai. Mereka harus membayar oppurtunity cost—nilai dari hilangnya sebuah peluang—atas lahan yang tidak mereka gunakan, serta kesempatan untuk mengakses pembayaran REDD juga semakin kecil.

c)      Kebocoran Sistem. Deforestasi dan degradasi masih memungkinkan terjadi di daerah lain yang tidak dilindungi oleh skema REDD.

d)     Daya simpan (Permanence). Jika proyek REDD telah berakhir, sulit untuk memastikan keberlanjutan dari simpanan karbon. Hutan dan simpanan karbon berpotensi hilang atau rusak baik melalui kegiatan manusia maupun oleh peristiwa alam (kekeringan, kebakaran).

e)      Kedaulatan Nasional dan Hak Masyarakat Adat: REDD dapat mengganggu kedaulatan suatu negara dalam penggunaan lahan sesuai dengan kebutuhan dari suatu negara. Adapun cara untuk mengurangi ketakutan ini adalah dengan penyewaan karbon (carbon rent).

f)       Keadilan (equity): REDD dikatakan menekankan pemerataan pembagian manfaat REDD. Namun mekanisme untuk hal ini masih tidak jelas.
Perlu sebuah distribusi keuntungan yang adil di dalam negeri, khususnya untuk pemangku kepentingan yang terlibat langsung dalam memastikan pengurangan emisi, bisa jadi masyarakat lokal, perusahaan atau pemerintah daerah (Maryudi, 2010)

g)       Kebangkrutan pasar karbon

Hal yang hampir sama juga pernah dipertanyakan dalam LULUFC (Land Use, Land Use Change, and Forestry) yang berada di bawah mekanisme CDM (Clean Development Mechanism). Di antaranya adalah definisi hutan, penentuan garis awal (baseline) proyek, tambahan (additionality) karbon, kebocoran karbon yang disimpan di dalam proyek, dan daya simpan (permanence) karbon. Adapun jika penulis boleh menambahkan, definisi deforestasi dan deforestasi pun masih belum jelas dan belum disepakati oleh semua pihak

Selain disebutkan di atas, dalam Dartmouth Climate Justice Research Project (CJRP) disebutkan mengenai 10 “bencana” yang harus dicamkan dari REDD/REDD+, yang di antaranya hampir sama dengan disebutkan pada poin a) hingga g), seperti pilihan metode untuk menentukan kondisi awal (baseline), mengenai kebocoran sistem, sedangkan beberapa bencana lainnya berkaitan dengan hak-hak masyarakat lokal dan adat, juga masyarakat yang akan menerima dampak buruk dari penerapan REDD. Hal yang cukup berbahaya juga mengenai penggusuran masyarakat tanpa relokasi yang jelas yang nantinya akan menyebabkan berbagai macam persoalan, yaitu peningkatan kemiskinan, marjinalisasi, kerawanan pangan, dan kehilangan budaya.

Pelu dipahami, bahwa salah satu GRK utama adalah karbon dioksida. Utamanya gas ini dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil. Kebutuhan domestik seperti pemanas, pendingin, pencahayaan dan lainnya dalam suatu bangunan pabrik menyumbang CO ke atmosfir(Aydin dan Çukur, 2012). Sehingga menjadi penting untuk dipahami bersama bahwa skema REDD harus mampu menjawab posisi gas emisi yang dihasilkan transportasi dan kebutuhan domestik.

Sebuah mekanisme yang efektif untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi yang melibatkan aktivitas seperti menyisihkan hutan dan memfokuskan aktivitas ekonomi di daerah lahan non hutan (Brockhaus et al, 2012). Kalaupun memang pemeliharaan hutan harus menjadi perhatian utama skema REDD. Perlu kiranya pengalihan aktivitas ekonomi yang sebelumnya berada di hutan bisa dialihkan ke daerah non hutan. Hal ini bukanlah perkara ringan dan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi implementasi REDD.

Mitigasi untuk perubahan iklim saat ini dilakukan dengan tindakan-tindakan yang berfokus pada faktor tunggal (konsentrasi GRK) dan skala spasial tunggal (rata-rata iklim global). (Marlandetal.,2003 dalam Aydin dan Çukur, 2012). Jika masih menggunakan semangat KTT Bumi di Brazil-“Think globally, Act Locally”-maka perlu sebuah langkah yang juga harus dilakukan di tingkat lokal tidak hanya tingkat global. Inilah pekerjaan rumah yang harus dipikirkan oleh negara-negara maju.

Penutup
Pemaparan singkat mengenai REDD yang penulis susun dalam paper ini hanyalah gambaran kecil dari kompleksitas skema REDD. Masih banyak hal yang masih bisa digali dari skema REDD.
REDD masih menyisakan pro dan kontra. Sebagai rimbawan, posisi yang sebaiknya diambil adalah tidak perlu memikirkan insentif dari REDD karena sudah menjadi peran dan kewajiban kita untuk mengelola hutan yang kita miliki secara lestari sehingga bisa dimanfaatkan secara terus menerus (Maryudi, 2012)




DAFTAR PUSTAKA
Angelsen, A. dengan Brockhaus, M., Kanninen, M., Sills, E., Sunderlin, W. D., dan Wertz-Kanounnikoff, S. (ed.) 2010. Mewujudkan REDD+: Strategi nasional dan berbagai pilihan kebijakan. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Aydin, M.B.S, Duygu Çukur. Maintaining the carbon-oxygen balance in residential areas: A method proposal for land use planning. Urban Forestry and Urban Greening. Volume 11, 2012, Pages 87-94.

Jaboury Ghazoul, Rhett A. Butler, Javier Mateo-Vega, Lian Pin Koh, REDD: a reckoning of environment and development implications, Trends in Ecology & Evolution, Volume 25, Issue 7, July 2010, Pages 396-402, ISSN 0169-5347, 10.1016/j.tree.2010.03.005.

Maria Brockhaus, Krystof Obidzinski, Ahmad Dermawan, Yves Laumonier, Cecilia Luttrell, An overview of forest and land allocation policies in Indonesia: Is the current framework sufficient to meet the needs of REDD+?, Forest Policy and Economics, Volume 18, May 2012, Pages 30-37, ISSN 1389-9341, 10.1016/j.forpol.2011.09.004.

Maryudi, Ahmad. 2010. The Thinker: Ready for REDD.Jakarta Globe http://www.thejakartaglobe.com/opinion/the-thinker-ready-for-redd/386655
 ______________.2012. iGreen Discussion: Memahami Konflik Tenurial dalam Implementasi REDD+. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

Murdiyarso, Daniel. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Roe, Dilys. Hannah Reid. Kit Vaughan. Emily Brickell. Joanna Elliot. 2010. Chapter 28: Climate, Carbon, Conservation, and Communities dalam buku Poverty and Biodiversity Conservation. Earthscan, UK
Roesad, Kurnya. 2010. Kebijakan Berbasis Lingkungan Hidup dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Tantangan dan Kesempatan dalam buku Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini. Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Jakarta
UNFCCC.1998. Kyoto Protocol.
Tumiwa, Fabby. 2010. Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini dalam buku Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini. Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Jakarta
Kementerian Kehutanan RI. (http://redd-indonesia.org )

No comments:

Post a Comment