Saturday, May 19, 2012

Merapi



Pada Oktober 2010, kawah itu menyemburkan laharnya tanpa daya manusia untuk menahannya. Wedus gembel (awan panas) setidaknya telah menjadi perantara bagi Malaikat Izrail untuk mencabut  sekitar 270an nyawa. Yogyakarta dan sekitarnya dirundung kemalangan. Uluran tangan dari berbagai penjuru tanah air mencoba meringankan kemalangan yang mereka rasakan. Gunung itu—Gunung Merapi—banyak bercerita tentang hidup manusia. 



Pada  17 Mei 2012. Saya bisa duduk di atas pucuk Gunung Merapi bersama 4 kawan (sebelumnya ada 3 kawan lainnya) dan pendaki-pendaki lain yang berasal dari berbagai daerah—termasuk juga mancanegara. Semua  takjub dengan suguhan pemandangan alam yang bisa dilihat dari puncak gunung. Bahkan gambar dari kamera sebagus apapun tidak mampu—memang tidak akan pernah mampu—mengalahkan pengalaman berharga melihat langsung pemandangan dari puncak gunung.

Memandang ke arah kawah yang asapnya berbau belerang, sungguh melemparkanku ke tahun 2010. Masih terasa dahsyatnya amukan Gunung Merapi yang menyemburkan laharnya dan awan panasnya. Dari kawah itu, luluh lantak rumah-rumah, pepohonan serta sapi, manusia tak sanggup menahan panas ketika mereka menerjang. Banyak cerita anak kehilangan bapak, ibu kehilangan anak. Tak ada yang ingin duka, tak ada yang ingin kehilangan, tak ada yang ingin kematian. Namun kehidupan tetaplah kehidupan, pasti akan menemui akhirnya.

Kini semburat matahari menampakkan berubahnya Gunung Merapi pasca erupsi. Menampakkan bekas aliran lahar. Menampakkan vegetasi yang masih tampak muda di area bekas lalu lintas lahar dan awan panas. Menampakkan kepuasan di wajah pendaki atas pengalaman berharga duduk di pucuk Gunung Merapi. Menampakkan sawah yang berteras-teras di bawah, masih dengan nuansa hijaunya. Menampakkan tetangganya—Gunung Merbabu—yang lebih tinggi dan hijau. Menampakkan awan yang kini sejajar dengan manusia. Menampakkan kuasa Allah di atas segala-galanya.


Sleman, 19 Mei 2012

No comments:

Post a Comment