Saturday, February 21, 2015

Demi Sebongkah Belerang

Tidak jarang kita masih memandang heran terhadap jalan hidup yang dipilih orang lain. "Kenapa sih mau-maunya kerja di tempat kayak gitu?", "Kenapa sih nggak sekolah yang tinggi?", "Kenapa sih capek-capek ngeluarin duit buat bayar sekolah sama kuliah?". Berbagai bentuk rasa heran semacam itu acapkali masih bisa kita dengar di tengah heterogenitas masyarakat. Pekan lalu saya mencoba melihat salah satu jalan hidup yang tak kalah mengherankan "bagi saya", penambang belerang tradisional. 
Kawah Ijen dengan danau belerang di tengahnya

Tahun 2012, saya menyaksikan tayangan dokumenter "Working Man's Death: Ghosts" yang ditayangkan oleh Al Jazeera. Tayangan ini menceritakan betapa berbahayanya kehidupan para penambang belerang di kawasan Ijen yang berada di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Barangkali tidak hanya tayangan dokumenter ini yang menyorot tentang kehidupan penambang belerang tradisional di Ijen dan obyek wisata Ijen, sehingga wajar cukup banyak wisatawan memasukkan Ijen sebagai destinasi mereka. 

Tiga tahun berselang, akhirnya saya dan seorang teman, Agung Perbowo, memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Ijen untuk memuaskan rasa penasaran terhadapnya. Perjalanan menggunakan sepeda motor pun kami pilih. Ya jangan tanya berapa banyak orang yang terheran-heran dengan perjalanan ini, ah tapi biarlah. 

Dari Kota Banyuwangi, jarak yang perlu ditempuh untuk mencapai pos pendakian Paltuding sudah tidak begitu jauh yaitu sekitar 48 km. Awalnya ada keinginan untuk melihat blue fire dan juga matahari terbit dari kawah Ijen, tapi apalah daya situasi dan kondisi yang ada tidaklah memungkinkan. Pendakian dari Paltuding menuju kawah Ijen baru bisa kami lakukan pada pukul 5.30. Tapi sungguh hal tersebut tidaklah mengecewakan, kami masih bisa menyaksikan keindahan pemandangan pada jalur pendakian menuju kawah Ijen. Jalan terjal yang harus dilalui tidaklah ada artinya dan benar-benar terbayar menyaksikan keindahan pemandangan itu. Hamparan gunung-gunung di sekitar Ijen, paduan warna dari pepohonan, tanah, bebatuan dan langit yang entah mengapa terlihat begitu indah dipandang, ditambah lagi udara yang masih benar-benar bersih membuat perjalanan jauh yang ditempuh untuk mencapai Ijen tidaklah percuma. 
Salah satu pemandangan pada jalur pendakian menuju Kawah Ijen
Di tengah-tengah perjalanan, seorang penambang menyapa kami dan bertanya dari mana kami berasal. Beliau sedang menuju ke tambang yang berada pinggir danau belerang (bagian tengah kawah). Perawakan badannya tidak terlalu tinggi dengan postur yang cukup tegap dan kekar. Saat bertemu kami dia mengenakan t-shirt lengan panjang, celana panjang, sepasang sandal jepit, keranjang yang diikatkan pada bilah bambu, dan masker sederhana. 
 Kami pun berbincang bersama beliau sepanjang perjalanan mengorek cerita tentang Ijen dan pekerjaannya.

Sudah 15 tahun lamanya, beliau melakoni pekerjaan sebagai penambang belerang. Waktu pertama kali menambang, dia harus terkapar di rumah selama 2 hari karena badannya belum terbiasa mengangkat beban pada medan yang seperti itu. Dalam satu hari, beliau mengaku bisa mengangkut 60 hingga 80 kg belerang dengan harga Rp 1000,00 per kilogramnya. Jikalau medan yang dilalui landai, nampaknya tidak begitu menjadi soal. Tetapi dengan jalan terjal yang harus dilalui sejauh 3 km dari pos pendakian menuju kawah ditambah perjalanan 700 m untuk turun ke lokasi tambang yang berada di pinggir danau sulfur, tentu menjadi hal yang berbeda. 



Hal yang menarik adalah jika dibandingkan menjadi pekerja bangunan mereka akan lebih memilih tetap melakoni pekerjaan sebagai penambang belerang. Pendapatan yang lebih besar dan waktu luang yang lebih banyak menjadi pertimbangan. Dalam satu hari, seorang penambang bisa mendapatkan pendapatan hingga Rp 80.000,00 tergantung dari berat belerang yang mampu dipikul, jika dibandingkan dengan pekerja bangunan yang dalam 1 hari hanya bisa mendapatkan Rp 50.000,00. Jika penambang berangkat pada pagi hari, pukul 9 atau 10 pagi mereka sudah bisa pulang ke rumah dan melakukan pekerjaan lain seperti mencari rumput untuk ternak mereka, sedangkan pekerja bangunan harus melakukan pekerjaan mereka selama 1 hari penuh. Belerang yang mereka dapatkan akan dijual kepada perusahaan (PT Candi Ngrimbi) yang lokasinya tidak jauh dari dari pos Paltidung. Selain itu, harga belerang tidak fluktuatif dan akan selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya. 

Beliau juga banyak berbincang tentang pengalamannya menemani para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, untuk menuruni kawah ke lokasi tambang. Sebenarnya pengunjung tidak diperkenankan untuk menuruni kawah dengan mempertimbangkan bahayanya. Namun beliau bercerita bahwa hal itu boleh saja dilakukan jika wisatawan turun bersama penambang. Tentunya ada upah yang harus dibayarkan kepada penambang yang menemani. Awalnya kami tidak mempertimbangkan untuk turun, namun rasa-rasanya kurang sempurna perjalanan jauh kami jika tidak menyempatkan turun ke sana. Dengan Rp 50.000,00 kami pun melihat langsung bagaimana proses penambangan berlangsung. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk turun ke lokasi tambang dengan jalan yang terjal berbatu.

Di sana sudah terdapat pipa-pipa yang nampaknya terbuat dari drum bekas yang dihubungkan ke sumber gas vulkanik. Gas yang keluar dari pipa itu akan terkondensasi menjadi cairan berwarna oranye yang jika dibiarkan beberapa saat akan mengeras. Endapan inilah dicongkel menggunakan linggis oleh penambang dan siap diangkut. Dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka sudah bisa menghasilkan 2 pikul belerang yang siap dibawa ke perusahaan. Beberapa penambang juga terlihat mencetak belerang cair menjadi bentuk-bentuk tertentu dengan tujuan untuk dijual kepada wisatawan.

Penambang mencetak belerang cair dengan mengendapkannya di dalam air

Ada rasa iba ketika melihat para penambang yang dengan peralatan pengaman seadanya terbatuk-batuk karena gas vulkanik. Kami pun merasa dunia akan berakhir ketika arah angin menyebabkan gas mengarah ke arah kami, nafas menjadi sesak, dan mata menjadi sangat perih, bayangkan jika itu terjadi setiap hari. Mereka sebenarnya juga yakin suatu saat gas beracun bisa keluar dan dapat membunuh mereka, tapi mereka percaya pengelola sudah menyiapkan early warning system jika sewaktu-waktu ada kondisi yang berbahaya. 

Situasi seperti ini mengantarkanku pada sebuah kesimpulan, jalan hidup yang mereka pilih bisa jadi adalah pilihan yang mereka pilih dengan sadar dan tanpa ada paksaan, tentunya karena pilihan-pilihan yang terbatas yang mereka miliki untuk hidup. Apa yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang ada memastikan keselamatan dan kesehatan kerja para penambang dan advokasi terkait hak mereka yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang membeli belerang dari para penambang.

Demi sebongkah belerang.... 

PS: Dan saya baru sadar bahwa sebenarnya pekerja tidak diperbolehkan untuk mengantarkan wisatawan ke lokasi tambang.. Ya sudahlah


2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete