Wednesday, May 18, 2011

Bijaksana terhadap Alam dengan Kearifan Lokal


gempa di Jepang

oleh: Mohamad Khomarudin
mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Indonesia adalah Negara yang mempunyai potensi bencana cukup besar. Hal tersebut tidak terlepas dari wilayah Indonesia yang terletak antara empat lempengan bumi diantaranya Lempengan Eurasia,Lempengan Pasifik, Lempengan Antartika, dan Lempengan Afrika. Selain itu Indonesia juga merupakan daerah pertemuan rangkaian sirkum Mediteran dan rangkaian sirkum Pasifik. Hal tersebut dapat menyebabkan terbentuknya aktivitas magma, sehingga terbentuk gunung-gunung api. Aktivitas tersebut juga dapat memicu terjadinya gempa bumi (Wardiyatmoko, 2006). Gempa bumi dan aktifitas gunung-gunung api tersebut dapat mengakibatkan tidak seimbangnya alam dan menyebabkan bencana.

Bencana mengakibatkan kerugian. Kerugian akibat bencana tersebut tidak hanya berdampak bagi manusia tetapi juga keseluruhan ekosistem yang terdapat pada daaerah tersebut. Kerusakan ekosistem menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan komponen di alam, sehingga komponen dalam ekosistem juga akan mengalami gangguan dan kerusakan. Selain itu rusaknya ekosistem akan berpengaruh terhadap interaksi antara komponen-komponen dalam ekosistem yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Terganggunya interaksi ini akan mengakibatkan terhentinya berbagai aliran energi dan materi, sehingga tidak tercapai keadaan yang stabil dan seimbang (Odum, 1998)

Kerugian terhadap hewan maupun tumbuhan akibat Keadaan yang tidak stabil dan tidak seimbang dalam ekosistem tersebut dapat berupa rusaknya habitat, hilangnya sumber makanan, bahkan musnahnya hewan ataupun tumbuhan tersebut.
Sedangkan bagi manusia dapat berupa hilangnya sumber kehidupan, rusaknya tempat tinggal, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidup dari manusia sendiri. Kaitannya dengan kerugian akibat bencana terhadap manusia. Bencana juga dapat berakibat pada lumpuhnya aktivitas ekonomi manusia. Lumpuhnya aktivitas ekonomi mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan manusia. Hal ini akan berakibat pada kelangsungan hidup manusia. Jelaslah bahwa bencana tersebut mendatangkan berbagai kerugian terhadap kehidupan mahluk hidup di muka bumi.

Bencana pada hakikatnya dapat disebabkan oleh aktivitas bumi dan dapat disebabkan oleh aktivitas manusia. Bencana yang disebabkan oleh aktivitas bumi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akibat tenaga endogen dan tenaga eksogen. Bencana akibat tenaga endogen terjadi karena aktivitas dari dalam bumi yang tidak stabil. Bencana yang disebabkan oleh tenaga eksogen terjadi karena aktivitas dipermukaan bumi, yaitu tidakseimbangnya atmosfer. Sedangkan bencana akibat aktivitas manusia adalah bencana yang terjadi karena adanya campur tangan manusia yang tidak bertanggungjawab dan bersifat merusak, serta tidak memperhatikan kelestarian alam, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya bencana.

Bencana yang terjadi hendaknya disikapi dengan pola pikir yang bijaksana. Bencana merupakan fenomena alam yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga, sehingga kadang kala sulit untuk diprediksi. Bencana datang seolah-olah tidak peduli dan terkesan sadis, namun Setiap bencana yang terjadi sesungguhnya mengandung pesan sekaligus peringatan bagi manusia. Setidak- tidaknya membuat manusia mengingat kembali akan adanya kekuatan besar diluar diri manusia yang mampu mengendalikan alam semesta ini. Amatlah tidak baik apabila bencana dipandang sebagai petaka belaka. Sebagai mahluk yang mampu berfikir kita seharusnya mampu mengkaji pesan moran dibalik bencana tersebut dan justru dengan adanya peristiwa tersebut kita menjadi semakin sadar akan kebesaran dan kuasa Tuhan. Tentunya dalam mengkaji bencana ini perlu dilandasi pula pola pikir yang logis dan penjiwaan secara spiritual dengan tidak mengabaikan kelestarian alam.

Pesan moran yang terkandung dalam suatu fenomena alam yang merugikan (bencana) tersebut hanya dapat dicerna apabila manusia memiliki kesadaran akan pentingnya kelestarian alam sebagai penyangga sistem kehidupan. Kesadaran akan pentingnya kelestarian alam dan keseimbangan alam ini tidak akan bisa diterapkan apabila manusia hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan semena-mena terhadap alam seolah-olah sebagai mahluk yang berkuasa atas alam dan segala kelebihannya termasuk kemampuan dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi Kesadaran dalam konteks ini harus dijiwai dengan hukum sebab akibat atau konsep siklis yang menekankan apakah Fenomena yang bersifat merugikan berupa bencana tersebut ada hubungannya dengan aktivitas atau tindakan manusia. Penganalisaan ini kemudian berlanjut pada pertanyaan apakah yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Penganalisaan ini lebih pada pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang menekankan adanya keseimbangan alam.

Pendekatan holistik ini memiliki karakteristik antara fakta dan nilai merupakan hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Fakta dan nilai saling melengkapi dan saling terkait. Nilai disini adalah tidak hanya empiric tetapi juga intuitif. Pendekatan holistik ini juga mengandung etika dalam kehidupan empiris yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Manusia dan alam tidak bisa dipisahkan dan relasi diantara keduanya adalah sinergi sistematik. Alam dipahami terdiri dari keseluruhan yang terkait satu sama lain, yang jauh lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya (Keraf, 2002).

Pendekatan Holistik mempunyai dampak yang sangat positif bagi etika dan lingkungan hidup. Pendekatan Holistik tidak menerima bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai. Nilai ikut mempengaruhi pengembangan ilmu pengetahuan (Keraf, 2002). Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi modern dikembangkan tanpa mempertimbangkan nilai, dengan mengabaikan dampak pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap alam, terhadap realitas kehidupan, maka alam dan realitas kehidupan ini sendiri akan memberi reaksi yang merugikan manusia. Fakta dan nilai terkait erat satu sama lain. Oleh karena itu fakta tidak boleh dilihat dan dilepaskan dari nilai. Bagi paradigma holistik, setiap fakta ilmiah bukanlah fakta murni begitu saja, tetapi harus memuat nilai secara moral, sehingga ada hubungan sangat erat antara benar secara ilmiah dan benar secara moral.
Paradigma Holistik memandang bahwa manusia tidak terpisah dari alam dan berada di atas alam (Keraf, 2002). Manusia juga tidak dilihat sebagai tuan dan penguasa alam. Manusia adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari alam. Manusia menyatu dan saling terkait erat dengan keseluruhan kenyataan yang ada, ada sikap hormat terhadap alam itu sendiri. Sikap hormat tersebut bahkan menjadi bagian integral dan diperhatikan secara serius dalam keseluruhan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Aspek-aspek kualitatif semacam pertimbangan mengenai nilai, aspek budaya, estetis, sosial, manusiawi ikut berpengaruh menentukan kebijakan yang diambil. Pendekatan yang diambil lebih multidimensi dengan tidak hanya memperhitungakan aspek dan manfaat ekonomis, tetapi juga berbagai aspek dan dimensi lain. Dengan demikian diharapkan aspek lingkungan hidup akan lebih diperhitungkan dan tidak menutup kemungkinan aspek lingkungan hidup akan dapat diselamatkan.

Dari pandangan holistik tersebut jelas bahwa antara manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan. Manusia dan alam saling berhubungan dengan erat. Setiap kebijakan juga harus mempertimbangkan tidak hanya kebenaran secara ilmiah tetapi juga moral dan etika (Keraf, 2002). Itu artinya Manusia dalam bertindah kaitannya dengan alam harus bijaksana. Tindakan manusia dengan alam harus dapat dipertanggungjawabkan. Alam disediakan olehTuhan tidak hanya untuk keperluan manusia itu sendiri melainkan untuk makhuk hidup yang lainnya. Interaksi manusia dengan alam ini nantinya akan berpengaruh terhadap kehidupan makhuk hidup di alam. Apabila intraksi manusia dengan alam baik maka pengaruh atau akibat dari tindakan manusia juga akan baik dan tidak mengganggu kestabilan alam, sebaliknya apabila dalam berinteraksi terhadap alam manusia tidak mengindahkan kaidah keseimbangan alam dalam arti merusak, maka akan terjadi ketidakseimbangan di alam. Ketidak seimbangan di alam ini nantinya akan berlanjut pada bencana.

Perlu kesadaran dari manusia bahwa bencana-bencana yang terjadi di muka bumi tersebut sebenarnya juga tidak terlepas dari tindakan manusia terhadap alam. Alam akan bersahabat apabila manusia juga bersahabat. Tidak bersahabatnya alam terhadap kehidupan mahluk hidup di bumi bukan tanpa alasan. Kerusakan bumi akibat ulah manusia seolah membuat penderitaan bagi bumi. Bumi yang semakin tua dengan beban yamg semakin berat justru diperparah dengan perbuatan manusia yang merusak. Bumi sebagai tempat tinggal mahluk hidup akhirnya pada suatu keadaan tertentu mulai tidak stabil dan ketidakstabilan ini menyebabkan terjadinya bencana.

Pandangan bahwa manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta dan kepentingan manusia dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosiatem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam tidaklah tepat. Alam bukanlah ojek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia dengan sesuka hati tanpa memperdulikan kelestarian dan keberlanjutan dari kehidupan di alam. Alam dalam kajian ekologis sebagai biosfer telah membentuk satu kesatuan dari ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi hubungan timbal balik semua komponen yang ada termasuk berbagai siklus baik materi maupun energi yang memungkinkan keberlangsungan kehidupan mahluk hidup (Kimmins, 1987: 69). Apabila alam digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia tentunya akan berakibat tidak adanya keberlanjutan sistem. Sistem harmonis dan kokoh yang telah terbentuk dan tercapai keadaan yang homeostatis akan mudah goyah dan tercerai berai.
Pandangan bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta tersebut perlu dikoreksi dengan pandangan bahwa Alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Dengan nilai yang dimiliki alam tersebut, maka pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam berhak diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak, sehingga berlaku setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama oleh sebab itu harus dilindungi dan diselamatkan. Alam semesta adalah sebuah komunitas moral, setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama mempunyai nilai moral. Seluruh kehidupan di alam semesta membentuk sebuah komunitas moral, oleh sebab itu kehidupan mahluk apapun pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung rugi bagi kepentingan manusia.

Pandangan mengenai manusia sebagai pusat dari alam tersebut juga perlu dikoreksi dengan pandangan bahwa etika dan moral juga berlaku pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak. Secara ekologis mahluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain, oleh sebab itu kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada mahluk hidup. Tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Dalam hal ini tidak dibenarkan memusatkan perhatian pada jangka pendek, perhatian harus dipusatkan pada jangka panjang yang menyangkut kepentingan semua komunitas ekologis (Keraf, 2002).

Ternyata kedua pandangan yang tidak hanya memposisikan manusia sebagai pusat moral dan etika tersebut sudah dimiliki dan telah dipraktikkan oleh masyarakat-masyarakat adat atau masyarakat tradisional di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Cara pandang mengenai manusia sebagai bagian integral dari alam, serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat, dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta, telah menjadi cara pandang dan perilaku berbagai masyarakat adat di seluruh dunia. Ketika cara pandang yang holistik mengajak kita untuk meninggalkan cara pandang ilmu pengetahuan modern yang tidak memperhatikan kelestarian alam dan ketika cara pandang yang memusatkan alam semesta, moral, dan etika pada semua mahluk hidup dan ekologi mengajak kita untuk meninggalkan cara pandang yang memusatkan alam semesta pada manusia, sesungguhnya kita diarahkan kembali pada kearifan tradisional atau kearifan local (Keraf, 2002).
Kearifan lokal yang mengajarkan mengenai keberlanjutan dan kelestarian ekosistem serta adanya sikap hormat dan menghargai alam, serta kembali ke jati diri manusia sebagai manusia ekologis. Kearifan lokal juga mengajarkan mengenai etika lingkungan. Etika lingkungan ini mengajarkan bahwa manusia, alam , dan relasi diantara keduanya adalah perspektif religius, perspektif spiritual. Kaitannya dengan ini alam dipahami oleh masyarakat adat sebagai sesuatu yang sakral. Spiritual ini merupakan kesadaran yang paling tinggi, sekaligus menjiwai dan mewarnai seluruh realasi dari semua ciptaan di alam semesta, termasuk relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan yang gaib. Demikian pula spiritual akan selalu menjiwai. Mewarnai,dan menandai setiap aktifitas manusia, yang tidak lain adalah aktivitas dalam alam, aktivitas dalam alam yang sakral (Keraf, 2002).

Dalam perspektif ini agama dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam (Keraf, 2002). Dalam penghayatan agama seperti itu, masyarakat adat ingin selalu mencari dan membangun harmoni diantara manusia, alam, masyarakat, dan dunia gaib, dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang spiritual menyatu dengan yang material. Hal ini mempengaruhi cara berpikir, berperilaku, dan seluruh ekspresi serta penghayatan adat sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh relasi dengan alam sebagai bagian dari hidup dan eksistensi dirinya, sehingga setiap perilaku manusia didasarkan pada kekerabatan, sikap hormat, dan cinta terhadap alam.

Cara pandang yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat adat tersebut perlu kita terapkan lagi dalam kehidupan ini. Pengetahuan keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika dari masyarakat adat yang tidak hanya menuntun bagaimana relasi yang baik antara sesama manusia, tetapi juga relasi diantara semua penghuni komunitas ekologis perlu kita cermati dan terapkan dalam kehidupan di bumi tercinta ini agar tercipta suasana yang harmonis antar sesama komunitas ekologis dan kita semakin bijaksana dalam menyikapi berbagai fenomena alam yang terjadi.



DAFTAR PUSTAKA

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology.Macmillan Publishing Company. Yew York. P: 69
Odum, Eugene P. 1998. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga Trj. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Wardiyatmoko K. 2006. Geografi. Penerbit Erlangga. Jakarta

Image pinjem dari : bike_earthquake_japan21.jpg

No comments:

Post a Comment