Wednesday, May 18, 2011

NILAI-NILAI PENYU BELIMBING (Dermochelys coriacea)



oleh: Wijanarko Herlambang* , Bambang Setiawan*, Hairi Cipta* ** , Pramesthi Indo*, Aprilia Widayani *

*=mahasiswa Fakultas Kehutanan Univesitas Gadjah Mada

**=owner Catatan Rimbawan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Kekayaan sumber daya alam berupa satwa liar di Indonesia sangat berpotensi untuk menyumbang kehidupan masyarakat banyak. Tetapi tidak cukup hanya dimanfaatkan saja tanpa adanya upaya pengelolaan terhadap satwa liar.

Berbagai jenis satwa liar bisa ditemukan di Indonesia dengan keunikannya masing-masing. Satwa-satwa tersebut tersebar di darat dan laut. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat dari sekitar 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di Indonesia (profauna.org), semakin bertambahnya kemajuan zaman keberadaan satwa ini semakin terancam. Manusia memanfaatkannnya dengan berbagai cara dan sering kali menyebabkan terjadinya penurunan populasi bahkan telah menyebabkan beberapa satwa liar terancam kepunahan (Alikondra, 1990)

.

Salah satu satwa liar yang memperkaya keanekaragaman jenis satwa di Indonesia adalah penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Menurut IUCN satwa ini dikategorikan kritis (Critically Endangered) dengan tren populasinya semakin hari semakin menurun (Pop. trend: decreasing). Penyu Belimbing termasuk satwa dilindungi sebagaimana diatur dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix 1.

Setiap satwa liar memiliki nilai. Nilai intrinsik dan beberapa nilai pemanfaatan seringkali tidak berjalan secara bersamaan. Nilai pemanfaatan yang dilakukan secara berlebihan dapat mengancam nilai intrinsik yang dimiliki oleh satwa liar.

Oleh karena itu, pemahaman mengenai suatu satwa sangat menentukan terhadap upaya pengelolaannya. Dengan diketahui nilainya maka diharapkan upaya pengelolaan terhadap satwa khususnya penyu belimbing bisa lebih intensif mengingat jumlahnya yang semakin menurun.

1.2.TUJUAN

Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui nilai-nilai dari Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) baik nilai pemanfaatan, nilai intrinsik, dan nilai pilihan masa depan.

1.3. MANFAAT PENULISAN

Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam menyediakan informasi tentang nilai-nilai satwa liar bagi yang membutuhkan, selain itu menambah pengetahuan dan kesadaran berbagai pihak akan pentingnya menjaga eksistensi satwa karena setiap satwa memiliki nilai-nilai sehingga layak dipertahankan.

1.4. PERUMUSAN MASALAH

Jumlah penyu yang berkurang akibat perburuan liar untuk diambil daging, cangkang dan telurnya. Sehingga semakin lama keberadaan penyu belimbing pun semakin sedikit. Pencemaran laut juga menjadi sebuah masalah besar. Sampah plastik yang dibuang ke laut menjadi makanan penyu belimbing. Itu karena sampah tersebut mirip dengan ubur-ubur kesukaan hewan itu. Sebagai pemangsa utama ubur-ubur, penyu belimbing menjadi pengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di alam dan populasi ubur-ubur pun bertambah. Jika ubur-ubur bertambah banyak bisa menyebabkan penurunan populasi ikan karena ubur-ubur adalah pemangsa utama larva ikan tersebut. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya pelestarian penyu belimbing. Penurunan populasi penyu belimbing belakangan ini harus ditanggapi dengan serius. Pada beberapa individu di dalam perutnya ditemukan 11 pon (5kg) (nationalgeographic.com). Kepunahan suatu spesies bukanlah sesuatu yang diharapkan, apalagi jika spesies tersebut merupakan spesies yang penting bagi ekosistem.

Ulah manusia yang seringkali mengancam keberlangsungan penyu belimbing salah satunya didasarkan oleh nilai-nilai satwa ini menurut perspektif masing-masing individu yang bersinggungan dengannya. Ancaman yang timbul biasanya berkaitan dengan nilai konsumtif , guna produksi, dan kebudayaan yang dimiliki oleh penyu belimbing. Dengan diketahui nilai dari satwa serta pemahaman yang memadai tentang satwa tersebut diharapkan manusia dapat melestarikan satwa yang sudah masuk kedalam kategori kritis (IUCN redlist) ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Orang Indonesia menyebutnya penyu belimbing karena cangkang tubuhnya berbentuk buah belimbing, yakni tidak rata dan bergaris-garis menonjol. Di mancanegara, penyu yang dilindungi ini tenar dengan sebutan leatherback turtles. Sedangkan dalam dunia sains ia disebut Dermochelys coricea. Nama famili dermochelys berasal dari bahasa Yunani yaitu derma berarti kulit dan chelys artinya penyu. Nama spesies coricea juga merujuk pada bahasa Yunani, corium berarti kulit lembu (puailiggoubat.com, 2010). Mempunyai punggung yang diliputi kulit kuat dari zat tanduk yang disebut karapas. Karapas penyu ini tidak bersisik, tetapi ada lima sampai tujuh garis tebal yang memanjang dari leher sampai ekor. Panjang karapas mencapai 2,5 m dengan berat mencapai 1500 Kg, umurnya dapat mencapai 200 tahun lebih.

Ketika saatnya, seekor penyu betina akan merangkak naik ke pantai untuk bertelur, hingga empat kali sepanjang satu musim bertelur. Sekali bertelur, satu penyu rata-rata menghasilkan 40-50 telur. Untuk melindungi dari predator, ia mengubur telurnya. Ketika mengubur telurnya, sirip depannya mengais-ngais pasir dan mengarahkan ke bagian belakang, membuat gundukan kecil diatas lobang, sedangkan bagian sirip kakinya nampak melakukan gerakan-gerakan memadatkan tanah. Penyu betina umumnya bertelur jika mereka sudah mencapai umur 10 tahun. Sayangnya, dari puluhan telur yang dihasilkan, hanya ada satu tukik (bayi penyu) yang mampu bertahan hingga dewasa (10 tahun)(WWF,2010). Musim kawin penyu ini berlangsung dari bulan Juni sampai Agustus. Penyu ini menggali pasir kira-kira 50 cm dalamnya dengan diameter 50 cm. Kemudian mereka bertelur dalam lubang dan menimbunnya kembali dengan pasir. Kegiatan in dilakukan kira-kira selama 2½ jam. Pasir itu kemudian mengerami sendiri telur-telur itu selama 6-8 minggu sampai menetas menjadi tukik yang keluar dari sarang untuk kemudian merangkak ke laut. Satwa yang beratnya bisa mencapai 600-900 kg selalu punya kehidupan yang berbeda dari penyu lainnya. Saat baru menetas beratnya kurang dari 200 gram dan penyu kecil tersebut langsung berenang ke laut lepas. Ia baru kembali ke daratan setelah berat badannya mencapai sekitar 600 kg, hanya untuk bertelur. Hanya penyu betina dewasa yang ke daratan selama sekitar tiga jam dalam setiap masa bertelur lalu kembali ke laut, dan naik lagi ke daratan untuk bertelur 2-3 tahun kemudian.

Penyu belimbing telah bertahan hidup selama lebih dari ratusan juta tahun, kini spesies ini menghadapi ancaman kepunahan. Selama dua puluh tahun terakhir jumlah spesies ini menurun dengan cepat, khususnya di kawasan pasifik, hanya sekitar 2.300 betina dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan penyu belimbing pasifik menjadi penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Di kawasan Pasifik, seperti di Indonesia, populasinya hanya tersisa sedikit dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 28 Agustus 2006 tiga negara yaitu Indonesia, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat penyu belimbing melalui MoU Tri National Partnership Agreement (wwf.or.id, 2006).

Termasuk satu dari tujuh spesies penyu dunia, penyu belimbing senang berdiam di kawasan pantai yang gelap dan sunyi. Ketika bertelur penyu betina mencari pasir untuk menyimpannya. Biasanya musim bertelur penyu betina ini adalah sekitar musim semi. Mereka kerap mampir di sepanjang pantai Thailand, Suriname, Malaysia, Sulawesi dan beberapa kawasan pesisir Amerika Selatan. Mereka menyukai kawasan laut yang masih memiliki banyak terumbu karang dan berhawa hangat. Di Indonesia, penyu belimbing terkadang masih bisa dijumpai di pesisir Sulawesi, Bali, Papua, dan Tasikmalaya. Penyu ini termasuk perenang hebat karena mampu mengembara sejauh 3.000 kilometer. Walau memiliki kekuatan mengagumkan, makanan penyu ini hanya ubur-ubur laut. (puailiggoubat.com,2010)

Dewasa ini keberadaan Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dikategorikan ke dalam satwa yang langka. Penyu Belimbing - disebut juga Leatherbacks turtle - dilindungi sebagaimana diatur dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix 1- Species threatened with extinction (spesies yang terancam punah). Saat ini diperkirakan hanya sekitar 2.300 penyu betina dewasa yang tersisa diseluruh Samudera Pasifik. Menurut IUCN satwa ini dikategorikan kritis (Critically Endangered) dengan trend populasinya semakin hari semakin menurun (Pop. trend: decreasing).

Di kawasan Pasifik, seperti di Indonesia, populasinya hanya tersisa sedikit dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada tahun 1984).

Di Indonesia, satwa ini dikategorikan sebagai satwa yang langka yang disebabkan beberapa hal antara lain predator alami (babi hutan dan anjing hutan), kapal ikan yang beroperasi di bagian lautan Pasifik dan lautan Aru,dan kerusakan habitatnya tempat bertelur penyu ini yang disebabkan kebiasaan warga sekitar dalam menambang pasir dan perburuan secara liar (wwf.or.id, 2010). Nilai yang terkandung dalam satwa ini sangat beranekaragam oleh karena itu pemahaman tentang satwa ini sangat menentukan perlakuan manusia terhadap satwa ini. Apabila dibiarkan, maka keberadaan satwa ini akan semakin terancam. Berikut ini disajikan taksonomi dari satwa ini (IUCN red list):

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Class : Reptilia
Ordo : Testudines
Famili : Dermochelyidae
Spesies :
Dermochelys coriacea

Nilai dan kepantasan melakukan pengelolaan dan konservasi satwa liar diantaranya adalah nilai-nilai sebagai berikut

1. Nilai konsumsi

Manusia memanfaatkan satwa liar dari mulai dagingnya, kulit, tanduk, tulang maupun bulunya.

2. Nilai rekreasi kegiatan berburu

Satwa liar dapat dijadikan obyek rekreasi berburu yang sangat menarik dan sangata disenangi masyarakat. Di Amerika Serikat kegiatan rekreasi berburu dan memancing ikan sangat berkembang dengan baik. Wilayah tempat berburu dan memancing telah dibina dan dikembangkan secara intensif sehingga banyak menarik pengunjung.

3. Nilai keindahan dan etika

Satwa liar yang hidup liar di alam bebas merupakan pemandangan yang indah dan khas serta mempunyai nilai seni yang sangat tinggi.

4. Nilai dalam ilmu pengetahuan

Jika ditinjau dari segiilmu pengetahuan, maka satwa liar dapat dijadikan obyek penelitian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ekologi, biologi, fisiologi dan taksonomi. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, satwa liar mempunyai fungsi-fungsi :

a. Satwa liar sebagai “gene resources” atau “gene reserves” yang sangat bermanfaat dalam penelitian bidang pemuliaan suatu jenis.

b. Untuk mencukupi kebutuhan protein hewani yang semakin meningkat, maka perlu juga dipikirkan cara pemanfaatan satwa-satwa liar seperti rusa untuk dijadikan ternak potong.

c. Dalam bidang kedokteran, satwa liar juga memegang peranan peting. Sebagian satwa liar sangat diperlukan dalam dunia obat-obatan.

d. Dalam dunia teknologi angkasa luar, jenis primata sering dipergunakan sebagai makhluk percobaan untuk angkasa luar.

e. Dalam bidang pembinaan satwa liar baik yang ada di suaka margasatwa maupun taman nasional,kegiatan penelitian memegang peranan yang sangat penting.

f. Dalam hubungannya dengan aspek kesehatan manusia dengan ternak, penyakit satwa liar juga perlu mendapat perhatian untuk diteliti, karena adanya kemungkinan bahwa satwa liar sebagai pembawa liar sumber penyakit yang dapat ditularkan ke ternak ataupun manusia.

g. Satwa liar juga mempunyai peranan yang besar didalam keseimbangan biologis dari suatu ekosistem. Didalam keseimbangan biologis ada sistem perputaran energi( siklus energi) yang dapat dilihat pada struktur makanan.( Hadi,1979)

BAB III

ISI

Pengelolaan terhadap satwa liar oleh manusia disebabkan oleh nilai yang terkandung dalam satwa liar tersebut. Satu spesies dapat memiliki lebih dari satu nilai. Persepsi nilai suatu satwa pada setiap orang berbeda-beda tergantung sudut pandang dalam menilainya. Persepsi dalam memandang niai suatu satwa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dll. Nilai yang akan dibahas lebih lanjut terkhusus untuk nilai yang terkandung pada Penyu belimbing (Dermochelys coriacea).

a. Nilai Pemanfaatan

- Nilai Konsumsi.

Nilai konsumsi merupakan nilai poduk yang merujuk pada pemanfaatan satwa secara langsung. Penyu belimbing dimanfaatkan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan protein dari telurnya (nationalgeographic.com) dan daging dari penyu ini diambil untuk dikonsumsi.

- Nilai guna produksi.

Nilai guna produksi merujuk pada pemanenan satwa liar untuk keperluan komersial.

Cangkang dari penyu berukuran besar ini kerap diburu untuk diawetkan dan dijadikan hiasan para kolektor. Cara pengawetannya menggunakan air keras, jadi diduga mereka dikeraskan dalam keadaan hidup-hidup. Semakin besar ukuran penyu belimbing yang dikoleksi, semakin tinggi harga dan prestise kolektornya (puailiggoubat.com, 2010). Selain itu terkadang telur dan daging penyu yang diambil tidak dikonsumsi secara langsung tapi untuk dijual dipasar.

- Nilai Jasa Ekosistem.

Nilai Jasa Ekosistem merujuk pada nilai satwa liar dalam ekosistem.

Keberadaan Penyu Belimbing sebagai spesies kunci pengontrol populasi ubur-ubur. Sebagai pemangsa utama ubur-ubur, penyu belimbing menjadi pengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di alam dan populasi ubur-ubur pun bertambah. Jika ubur-ubur bertambah banyak bisa menyebabkan penurunan populasi ikan karena ubur-ubur adalah pemangsa utama larva ikan tersebut. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya pelestarian penyu belimbing.

Penurunan populasi penyu belimbing belakangan ini harus ditanggapi dengan serius. Kepunahan suatu spesies bukanlah sesuatu yang diharapkan, apalagi jika spesies tersebut merupakan spesies yang penting bagi ekosistem.

- Nilai Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan.

Adanya satwa liar sebagai sumber kajian untuk menjawab-jawab proses alam dan sebagai objek penelitian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Tidak banyak informasi yang diketahui tentang Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk bermigrasi menjelajahi samudera. Oleh karena itu para Peneliti berusaha untuk menyelidiki pola migrasi dari penyu belimbing ini. Pola distribusi penyu dapat dijadikan indikator kondisi ekosistem perairan.

Para peneliti dapat mengetahui pencemaran bahan kimia beracun dengan memanfaatkan penyu belimbing. Penyu yang bermigrasi berpotensi menghadapi keracunan kumulatif dari berbagai bahan kimia beracun yang menyusup pada rantai makanan penyu belimbing (satwaunik.com, 2011). Keracunan ini bisa diteliti sehingga bahan kimia apa saja yang mencemari perairan sekaligus mengetahui dampaknya terhadap penyu belimbing.

- Nilai Kebudayaan.

Nilai yang banyak melekat pada suku-suku yang hidup secara tradisional.

Pemanfaatan penyu belimbing yang dikenal juga dengan nama lokal Tabob menurut masyarakat adat Nu Fit Roah (di kawasan pesisir barat Pulau Kei) yang didasari pada anggapan masyarakat tradisional bahwa tabob sebagai Tad ( tanda), Ub (leluhur) dan makanan pusaka mereka. Hal ini membuat perburuan Tabob tanpa memperhatikan kelestariannya (malukutenggarakab.go.id).

- Nilai Rekreasi

Nilai yang didapat dengan merasakan kekaguman ketika bertemu satwa liar.

Penyu belimbing terkenal tidak saja karena populasinya telah amat jarang, akan tetapi juga merupakan jenis terbesar dari 7 spesies penyu laut yang ada sehingga menarik minat banyak orang untuk melihatnya (Susanto, 1978). Kedatangan penyu di suatu kawasan untuk bertelur menarik minat masyarakat mengingat satwa liar ini termasuk ke dalam satwa yang hampir punah dan keberadaannya di Pantai sangatlah jarang ditemui (2-3 tahun sekali). Penyu ini dapat dijadikan daya tarik wisatawan baik lokal maupun asing untuk berwisata bahari.

b. Nilai Intrinsik

Nilai yang ada karena keberadaan satwa itu sendiri. Nilai intrinsik penyu belimbing dapat dipandang dengan etika biosentris, di mana manusia harus melakukan manipulasi terhadap lingkungan penyu belimbing. Manipulasi harus dilakukan agar populasi satwa lain tetap terkontrol sperti populasi ubur-ubur dan populasi tingkat trofik sebelumnya.

c. Nilai pilihan masa depan

Nilai yang memungkinkan untuk dapat digunakan dimasa yang akan datang.

Mangsa alami penyu belimbing yang berupa ubur-ubur menunjukkan ketahanan penyu dari sengatan ubur-ubur. Hal ini bisa dimanfaatkan manusia untuk mensintesis produk yang sama dengan yang dimiliki penyu agar manusia bisa kebal dari sengatan penyu.

Benturan Nilai Pemanfaatan dan Nilai Intrinsik

Nilai intrinsik dari penyu belimbing masih berlawanan dengan beberapa nilai pemanfaatan. Nilai pemanfaatan yang berlawanan ini adalah nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan. Sedangkan nilai jasa ekosistem, ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta nilai rekreasi justru dapat mendukung nilai intrinsik dari penyu belimbing.

Telur-telur penyu banyak menarik perhatian makhluk hidup lain, tidak hanya satwa-satwa liar seperti babi hutan dan anjing hutan, melainkan juga manusia. Pengambilan telur penyu terjadi karena nilai konsumtif dan guna produksi dari penyu belimbing. Masyarakat membutuhkan telur-telur untuk memenuhi kebutuhan proteinnya (nilai konsumtif) dan juga dijual (nilai guna produksi). Padahal jumlah penyu belimbing terus mengalami penurunan. Di seluruh dunia, pantai di Jamursba Medi yang berada di Papua merupakan salah satu tempat yang sering dijadikan penyu belimbing untuk bertelur. Jadi pemerintah Indonesia harus memperketat pengelolaan kawasan ini agar proses bertelur dan penetasan penyu tidak mengalami hambatan.

Nilai kebudayaan pada masyarakat adat Nu Fit Roah awalnya merupakan ancaman bagi penyu belimbing. Namun dewasa ini perburuan penyu yang dikarenakan nilai kebudayaan sudah mulai menurun, hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah dan populasi penyu belimbing yang semakin sedikit. Sehingga masyarakat sadar akan pentingnya penyu belimbing atau yang mereka sebut tabob bagi mereka (malukutenggarakab.go.id). Hal inilah yang membuat penulis menganggap bahwa nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan bisa mengancam nilai intrinsik.

Ada juga ancaman terhadap penyu yang bukan didasarkan oleh nilai yang dimiliki penyu belimbing, melainkan karena ketidaksengajaan atau kurang pekanya manusia terhadap keberadaan penyu. Ancaman itu adalah seringnya penyu tersangkut jaring nelayan dan sampah-sampah plastik yang tertelan oleh penyu.

Akibat tersangkut jaring nelayan, nelayan sering mengalami kerugian karena jaringnya menjadi rusak. Penyu belimbing yang tersangkut oleh jaring sebenarnya masih bisa dilepaskan, namun di Trinidad banyak nelayan memilih untuk membunuh penyu belimbing yang tersangkut di jaring nelayan (nationalgeographic.co.id, Mei 2009).

Pembuangan limbah sampah plastik merupakan tingkah laku yang buruk dari manusia yang masih mengelola sampah dengan buruk dan tanpa disadari sampah plastik ini menjadi berbahaya ketika dimakan oleh penyu belimbing. Penyu mengira sampah itu adalah ubur-ubur. Selain plastik, limbah yang juga berbahaya adalah limbah bahan-bahan kimia. Penyu yang bermigrasi berpotensi menghadapi keracunan kumulatif dari berbagai bahan kimia beracun yang menyusup pada rantai makanan penyu belimbing (satwaunik.com, 2011).

Semakin banyak orang yang mengambil nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan dari penyu belimbing maka nilai intrinsik dari penyu belimbing sebagai pengontrol keberadaan spesies lain akan berkurang. Padahal nilai intrinsik penyu belimbing sangat penting bagi ekosistem. Tindakan-tindakan manipulasi oleh manusia untuk menjaga nilai intrinsik penyu harus bersamaan pula dengan pengendalian pemanfaatan nilai konsumsi, guna produksi dan kebudayaan penyu belimbing.

Upaya pelestarian penyu tidak cukup hanya dilakukan oleh satu negara saja. Hal ini dikarenakan oleh wilayah jelajah penyu yang sangat luas. Penyu belimbing ini dapat menjelajah hingga jauhnya bermil-mil. Penyu belimbing ini mencari akan dan akan kembali ke tempat asalnya sekitar 5 tahun lagi. Di banyak negara sudah banyak dilakukan upaya untuk mencegah kepunahan penyu belimbing. Negara-negara itu antara lain Malaysia, Amerika Serikat, Papua Nugini, Kep. Solomon dan Australia. Di Indonesia sendiri, penyu belimbing sudah dilindungi sejak tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pertanian no. 327/Kpts/Um/5/1978 (Prihanta, 2007).

Upaya-upaya pelestarian yang dapat diterapkan di negara-negara yang bersinggungan secara langsung dengan habitat maupun jalur migrasi penyu belimbing antara lain:

· mengidentifikasi dan melindungi koridor migrasi penyu,

· membuat kesepakatan dengan komunitas-komunitas nelayan setempat

· mengontrol predasi terhadap telur maupun penyu dewasa

· menumbuhkan kesadaran masyarakat lokal yang berdekatan dengan lokasi tempat penyu bertelur agar bisa ikut meningkatan angka penetasan telur penyu belimbing

Dengan meningkatnya kesadaran manusia terhadap nilai-nilai penyu belimbing maka upaya-upaya pelestarian penyu belimbing tidak hanya datang dari kalangan pecinta lingkungan melainkan banyak pihak bisa turut bekerjasama untuk menyelamatkan spesies penyu belimbing (Dermochelys coriacea).

BAB III

KESIMPULAN

1. Nilai pemanfaatan yang berpotensi mengancam nilai intrinsik penyu belimbing adalah nilai konsumsi, guna produksi, dan kebudayaan.

2. Kegiatan konservasi penyu belimbing perlu ditingkatkan mengingat jumlah populasi yang semakin terancam kepunahan sehingga nilai intrinsik dapat dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA

Alikondra. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Bogor: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi IPB

Kodra, Hadi Ali. 1979. Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa Bagian III. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Prihanta, Wahyu. 2007. Problematika Kegiatan Konservasi Penyu di Taman Nasional Meru Betiri. Malang : Laporan Penelitian, Penelitian Pengembangan IPTEK, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang.

Sowelo,Ismu Susanto.1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka. Bogor: direktorat perlindungan dan pengawetan alam

DAFTAR LAMAN

Anonim. Bahan Kimiawi Menjadi Ancaman Bagi Penyu Belimbing. http://www.satwaunik.com/informasi-umum/bahan-kimiawi-menjadi-ancaman-bagi-penyu-belimbing/. Senin, 16 Mei 2011.06.03 .

Anonim. Fakta tentang Satwa di Indonesia. http://www.profauna.org/content/id/fakta_satwa.html Profauna-indo. Senin, 16 Mei 2010. 04.00

Anonim. Leatherback Sea Turtle Dermochelys coriacea. http://animals.nationalgeographic.com/animals/reptiles/leatherback-sea-turtle/. Minggu, 16 Mei 2011. 00.44

Anonim. 2010. Penyu Belimbing Meski Beracun Tetap Diburu. http://www.puailiggoubat.com/?kanal=berita&id=5865. Selasa, 10 Mei 2011 .09.00

Anonim. 2011. Penyu Belimbing Yamursbamedi Terancam Punah. http://www.antaranews.com/berita/257547/penyu-belimbing-yamursbamedi-terancam-punah. Selasa, 10 Mei 2011. 09.00

Anonim. 2011. Penyu Belimbing Raksasa Terdampar di Ipuh. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/14/brk,20110214-313320,id.html . Rabu, 11 Mei 2011 .20.00

Appenzeller, Tim. Pelaut Purba. http://nationalgeographic.co.id/featurepage/85/pelaut-purba/1. Sabtu, 14 Mei 2011. 19.30

Kabupaten maluku Tenggara. 2010. Penyu Belimbing. http://www.malukutenggarakab.go.id/index.php/pariwisata/242-penyubelimbing. Rabu, 11 Mei 2011 20.00

Sarti Martinez, A.L. 2000. Dermochelys coriacea. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. Minggu, 8 Mei 2011 pukul 13.00.

Suradji, Devi. 2010. Ketika penyu belimbing mendarat ke pantai .kembali.http://www.wwf.or.id/berita_fakta/highlights/hg_by_marine.cfm?19782/Leatherback-turtles-are-back-for-nesting-season. Selasa, 10 Mei 2011 pukul 09.00 WIB

No comments:

Post a Comment