Tuesday, November 1, 2011

Masuk Hutan, Terjerat Perangkap Babi

Usia muda bukan alasan menunda karya. Doktor bidang forest product lulusan Jepang ini umurnya belum genap 38 tahun, tapi hasil penelitiannya sudah mengisi banyak jurnal internasional. Sekitar 150 jenis tanaman telah "dikuliti" khasiatnya oleh pria yang menyelesaikan program S1 dan S2 di Unmul ini.


Enos Tangke Arung, nama peneliti sekaligus dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) ini. Mengenakan baju batik, dia menyambut kedatangan harian ini di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fahutan, bersama ketua laboratorium (lab) tersebut, Irawan Wijaya Kusuma.


Enos mengatakan, tak jarang keluar masuk hutan untuk mencari sampel penelitiannya. Tapi, pekerjaan di laboratorium lebih memakan waktu ketimbang yang diperlukan memburu sampel.
Beberapa waktu lalu, dia dan tim peneliti yang terdiri dari beberapa mahasiswa terjun ke hutan di Kutai Barat selama setengah bulan. Enos akan menggalu bahan tradisional yang digunakan masyarakat Dayak untuk kesehatan. "Misalnya bahan untuk membuat bedak dingin,"kata peneliti yang fokus menggali khasiat tanaman untuk kulit.


Enos menceritakan, mereka tidak bermalam di hutan, karena jarak dari hutan ke desa tidak terlalu jauh.
Tapi ada kejadian kurang mengenakkan di sana. "Ada salah satu mahasiswa yang menginjak perangkap babi. Untung tidak berbahaya,"tuturnya. Risiko-risiko seperti itu menurutnya biasa bagi peneliti.
Risiko yang tak seberapa dibanding saat penelitiannya diterbitkan di jurnal internasional. "Rasanya luar biasa," kata Enos, tampak kesulitan menggambarkan perasaan itu. Karya Enos yang sudah terbit di jurnal internasional sudah puluhan.


Buka saja situs pubmed.com, lalu ketik nama lengkap pria itu, daftar penelitiannya akan muncul. Di antara penelitian itu dilakukan bersama rekan seruangannya di Lab Kimia Hasil Hutan, Irawan WK.
Pubmed adalah layanan dari National Library of Medicine, Amerika Serikat yang menyajikan artikel-artikel biomedis sejak tahun 1950-an hingga kini serta jurnal-jurnal tentang pemanfaatan tanaman untuk kesehatan dari seluruh dunia.


Pria yang memulai kariernya sebagai dosen pada 1997 ini pernah meneliti kayu nangka yang ekstraknya bisa digunakan sebagai bahan pemutih kulit. Lalu, membuat bahan kosmetik dari tanaman belabetan (termasuk jenis semak) yang terdapat di Kubar. Dua penelitian itu telah dipatenkan.


Sayangnya, dari sekian banyak penelitiannya, semua belum dikemas dalam bentuk produk jadi. Kecuali teh Tahongai. Tahongai (Kleinhovia hospita) adalah tumbuhan yang biasa tumbuh alami di pinggiran aliran sungai di Kaltim, memiliki batang yang sedang, daun yang lunak dan selalu hijau. Saat ini tanaman ini sangat sulit dijumpai.


Menurut Enos, Tahongai memiliki zat antioksidan, ekstrak etanolnya bisa mematikan kanker hati. Produk teh itu dibuatnya bersama alumnus Fahutan Unmul, Herry Ramadan. Ke depan, Enos ingin menelurkan produk dari penelitiannya tentang whitening agent (pemutih). Mengapa pemutih? karena pasarnya lumayan bagus. "Sekarang bukan hanya perempuan yang menggunakan krim pemutih,"katanya.


Minggu lalu, Enos dan timnya menjelajah Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) di Balikpapan. Memburu tanaman apa saja yang sekiranya bisa bermanfaat bagi kesehatan. Di antaranya, Etlingera balikpapanensis (jenis jahe-jahean yang baru ditemukan peneliti asal Kanada 3 tahun lalu). Jahe jenis itu belum diketahui fungsinya. Untuk itu Enos dan mahasiswanya tertarik meneliti.


Dia menyayangkan, hutan tropis membentang di Kaltim, tapi masyarakatnya belum paham pemanfaatannya. "Sayangkan, mengkonservasi hutan kalau penduduk setempat nggak tahu memanfaatkannya," Jelas suami Roberta Diana.
Enos mengerjakan aktivitas penelitian ini di luar tugas rutinnya mengajar. Dia juga santai menjalani kegiatan itu. "Saya di lab dari pagi sampai sore," katanya.


Ayah dari Samuel Hideaki (5) ini menyebut, dana sebagai ujian berat bagi para peneliti. "Tapi itu dulu, sebelum 2006. Setelah itu Dikti (Direktorat Pendidikan Tinggi, Red.) membuka kesempatan luas memberikan dana bagi peneliti khususnya di perguruan tinggi negeri," jelasnya.
Sebelum itu, kata dia, tak jarang peneliti keluar kocek pribadi. "Tapi jumlahnya tidak banyak, sih,"akunya.





Kaltim Post 5 Juni 2011

No comments:

Post a Comment