Wednesday, November 2, 2011

Hujan telah Mengingatkan Kita!

Kayuhan sepedaku terpaksa harus ku hentikan. Langit saat ini sedang bermurah hati menurunkan tetes-tetes hujan yang begitu penuh dengan makna. Bagiku sendiri hujan kali ini bermakna teguran bagiku agar jangan pernah lupa membawa jas hujan kalau  bepergian. Bagi penjual warung yang aku singgahi, hujan ini mungkin bermakna syukur karena ada yang singgah untuk sekedar menyeruput teh hangat di warungnya. Lain lagi bagi petani, pasti mereka juga bersyukur karena hujan kembali membasahi tanahnya sehingga bisa ditanami lagi. Ada juga yang sedikit rasa kecewa (tapi pasti tetap bersyukur), seperti seorang penjual es yang bersama-sama sholat berjamaah di masjid yang ku singgahi yang pasti akan kehilangan pembeli karena cuaca yang cukup dingin. Warga Jogja yang berada di bantaran Kali Code mungkin akan merasa was was, kalau-kalau ada banjir lahar dingin. Bagi pengusaha kayu yang menggunakan sistem pengeringan kayu alami akan memerlukan waktu lebih lama karena kelembaban udara akan meningkat. Terlalu banyak makna di dalam setiap rintik air hujan.

Aku bukan anak kecil lagi, yang sudah punya banyak pertimbangan dalam melakukan segala hal. Dahulu saat pulang sekolah (ketika SD), meskipun hujan lebat tetap saja ditembus tanpa mantel, payung, bahkan jaket pun tidak. Pakaian seragam putih-merah kotor dan basah kuyup, tas dan seisinya sama-sama memprihatinkan, badan menggigil, tapi terasa nikmat. Lain halnya kalau berangkat sekolah, paling tidak bisa menyiapkan diri dulu sebelum menembus hujan. Tapi entah mengapa pikiran saat itu merasa gengsi (atau malu) kalau disuruh membawa jas hujan, diantarkan naik sepeda motor juga tidak mau. 

Di daerahku, Tenggarong, hujan memang tidak mengenal waktu, entah musim kemarau atau musim penghujan. Kekecewaan atau rasa jengkel bisa saja muncul ketika hujan turun dengan derasnya saat rencana-rencana telah kita susun dengan rapi. Kita memang pantas untuk mengeluh ketika prakiraan cuaca di Indonesia kurang begitu terurus dan tersampaikan ke masyarakat. Anugerah Allah berupa hujan yang harusnya kita syukuri bisa-bisa kita selewengkan hanya karena urusan-urusan dunia yang sepele jika dibandingkan urusan akhirat. Padahal salah satu rukun iman adalah Iman kepada Takdir Allah. Jangan sampai tingkat keimanan kita turun hanya karena masalah yang sepele.

Cobalah renungkan sebentar saja makna yang lebih mendalam dari setiap tetes air hujan. Kita semua pasti tidak asing lagi dengan istilah global warming yang sering digembar-gemborkan di mass media. Salah satu tandanya adalah perubahan iklim atau bahasa jawanya climate change. Perubahan iklim membuat cuaca di bumi tidak menentu. Setahun yang lalu (2010), ketika saya di Jogja, rasa-rasanya tidak ada perbedaan yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau. Bahkan ada dosen klimatologi yang mengupdate status Facebook bahwa tahun itu yang ada adalah kemarau basah. Berbeda dengan yang terjadi tahun ini, hujan baru turun di Jogja di akhir Oktober setelah dinanti berbulan-bulan lamanya. Di belahan bumi lain malah kelebihan air, seperti di Thailand yang sampai saat ini telah memakan ratusan korban jiwa. Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah kita pernah berburuk sangka kepada Allah karena peristiwa-peristiwa ini? Semoga saja tidak. Pasti kita bisa menemukan hikmah di balik semua peristiwa yang terjadi di muka bumi. Para ilmuwan dan peneliti selalu berusaha menemukan jawaban-jawaban sehingga seringkali menemukan kesimpulan bahwa peristiwa ini terjadi karena ulah manusia. Mungkin inilah cara Allah berkomunikasi kepada semua makhluk-Nya, mengingatkan kita agar tidak kufur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Apa yang telah kita lakukan membuahkan kerusakan demi kerusakan di muka bumi. Ayat berikut akan sangat relevan dengan kerusakan-kerusakan yang terjadi belakangan ini:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (T.Q.S. Ar-Rum ayat 41)

Lantas, siapa yang salah? Tak ada satupun yang mau disalahkan. Kita lebih sering saling menunjuk ketika ditanya hal ini, bukannya berupaya untuk memperbaiki apa yang sudah terlanjur rusak. Mulai dari diri sendiri? Tentu tidak cukup, setiap orang memang wajib memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan yang terjadi dan tentu juga mengajak orang lain untuk ikut membantu. Berikan pemahaman kepada orang lain sesuai kemampuan kita, berapapun umur kita, apapun profesi kita, ajaklah orang lain! Semoga saja apa yang telah terjadi membuat kita lebih lebih bersyukur dengan segala karunia yang Allah berikan. Selain itu Allah ingin kita kembali ke jalan benar dengan menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi dengan baik. Kita wajib mengelola alam ini dengan cara yang arif dan bijak, ada ungkapan menarik:  "Alam ini bukan warisan dari leluhur melainkan kita telah meminjamnya dari anak cucu kita." Barang pinjaman tentu harus dikembalikan lagi dengan bentuk yang baik, semoga masih ada kesempatan untuk itu.

Back to rain, Alhamdulillah hujan sudah sering turun, walaupun kadang tak terduga. Lagu Coldplay yang terbaru berjudul Every Teardrop is a Waterfall, akan lebih cocok kalau saya ubah menjadi Every Raindrops is a Rahmat for Everyone.


P.S.: sekarang lagi musim ujian,, belajar yang rajin ya :) .. besok saya ujian Komunikasi Informasi Kehutanan lho, tapi gak papa lah posting sebentar.. satu lagi , cucian saya tadi basah dihantam hujan, tapi mesti tetap bersyukur.. Salam Cat-Rim .. 

2 comments: