Friday, March 9, 2012

Jangan Sampai Kita Dibohongi

 Layaknya “pertarungan politik” pada Pemilihan Umum (Pemilu) di republik ini, ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di kampus. Ini hanya opini pribadi tentang pergulatan yang terjadi untuk mendapatkan kursi no.1 di Universitas Gadjah Mada (UGM). Prof. Sudjarwadi sudah waktunya turun dari tampuk kepemimpinannya tahun 2012 ini.

                Sejak Februari 2012, isu pemilihan rektor (PilRek) semakin menghangat dan makin diperhatikan oleh banyak kalangan penghuni kampus ini. Saya termasuk mahasiswa yang terbilang baru dalam memahami isu-isu semacam ini. Pertemuan-pertemuan pembahasan agenda PilRek sering saya ikuti sebagai delegasi LEM FKT. Saya bertemu dengan insan-insan muda yang nampak begitu semangat untuk membangun kepedulian bersama di kampus tercinta. BEM KM UGM sebagai fasilitator sudah saya anggap cukup dalam mengkoordinasi teman-teman lembaga se-UGM termasuk UKM, walaupun beberapa pertemuan terakhir tidak banyak lagi delegasi lembaga yang hadir. Bosen apa ya?

               
Terus terang saya menghadapi kebingungan yang teramat sangat saat mencoba memahami apa yang terjadi pada PilRek UGM 2012. Mulai dari suara mahasiswa yang terpecah, dugaan elit-elitMWA (Majelis Wali Amanah) yang bermain kotor, serta bakal calon yang juga tak mau kalah politisnya.

                Cukup mengagetkan memang ketika saya mendapatkan sms untuk mengikuti aksi yang diadakan oleh mahasiswa yang menamakan diri  sebagai GARPU pada tanggal 2 Maret lalu. Sebagai delegasi yang sudah sering dikirim dalam pertemuan-pertemuan pembahasan PilRek, terus terang belum ada kesepakatan untuk turun aksi pada tanggal tersebut. Di sinilah saya mulai menemukan adanya perpecahan suara di kalangan mahasiswa. Mereka menginginkan adanya PilRek yang jujur dan bersih, saya jelas setuju untuk tuntutan semacam ini. Sedangkan tuntutan lainnya tentang permasalahan adanya umur maksimal sebagai persyaratan (karena di dalam PP 153 yang mengatur mengenai PT BHMN tidak menyebutkan adanya pembatasan umur), saya masih bersikap sebagai orang yang tidak bermasalah ketika persyaratan umur dilakukan. Dalam persyaratan memang disebutkan bahwa rektor harus tidak berumur lebih dari 60 tahun saat pelantikan, hal ini disebutkan di dalam SK MWA.

                Pertemuan saya serta teman-teman pada tanggal 2 Maret (sore) dengan Prof. Sofian Effendi mencoba menelisik mengenai alasan adanya persyaratan umur itu. Apalagi hal itu bukan hanya tuntutan mahasiswa, melainkan ada beberapa pihak yang menggugat hal tersebut dan melaporkan ke PTUN. Penjelasan yang cukup gamblang mengenai alasan pencantuman itu membuat saya nampaknya mengambil sikap setuju dengan apa yang dijelaskan oleh Prof. Sofian. Termasuk legal standing yang lemah dari pihak penggugat. Pertemuan ini juga membuat saya beranggapan bahwa para mahasiswa yang mengadakan aksi tersebut adalah mahasiswa-mahasiswa yang telah dimanfaatkan oleh kepentingan pihak tertentu. Memang Prof. Sofian juga berpesan agar mahasiswa jangan mudah diadu domba.

                Blok-blok yang ada di dalam MWA juga membuat saya pusing. Sungguh aneh memang di jajaran orang-orang yang bisa dikatakan memiliki intelektual tinggi ternyata tak kalah politis dengan dunia perpolitikan di luar kampus (ya semacam partai politik khas Indonesia yang banyak pilihan "rasa"). Menurut informasi yang saya dapatkan dari Luthfi Hamzah (wakil mahasiswa di dalam MWA), di dalam MWA memang ada semacam blok-blok yang sudah memiliki calon masing-masing. Menurut Luthfi, seperti apapun blok-blok itu ternyata mahasiswa sama sekali tidak dibahas oleh mereka! Artinya tidak ada bakal calon rektor dari kedua blok itu yang bisa pro mahasiswa. Namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perpecahan di dalam blok-blok itu.

                Nah, masih berkaitan dengan syarat umur, saya baru tahu bahwa ini bisa jadi juga bagian dari konspirasi dari blok-blok di dalam MWA. Meskipun waktu itu Prof. Sofian sudah panjang lebar membahas dari segi peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi saya baru tersadar dengan timbulnya keanehan di sini. Bagaimana bisa muncul penafsiran yang berbeda-beda terhadap peraturan perundang-undangan!? Saya mungkin belum bisa memaparkan mengenai perbedaan itu, namun saya hanya melihat susahnya menentukan siapa yang benar. Belum lagi muncul sebuah tanggal yaitu 28 Mei 2012, bakal calon rektor harus berumur maksimal 60 tahun pada tanggal ini. Ini semacam jebakan-jebakan yang dibuat untuk menghalangi bakal calon yang tidak diinginkan agar tidak bisa mengikuti PilRek.  Usut punya usut, ada yang mengatakan bahwa memang ada 2 orang yang akan terjegal dengan pembatasan ini dan mereka bisa dikatakan calon-calon kuat. Hebatnya juga upaya penjegalan ini dilakukan sejak 2 tahun sebelum PilRek ini berlangsung!

                Hal yang cukup mengherankan juga bisa kita lihat pada perubahan jadwal PilRek yang dikeluarkan oleh Panitia Ad Hoc (PAH) PilRek.

Jadwal awal:
23 Februari – 3 Maret 2012          Pendaftaran dan penjaringan bakal calon (balon) rektor, kecuali jika balon yang mendaftar , maka pendaftaran akan diperpanjang

5-6 Maret 2012                             Seleksi administrasi oleh PAH

  Dari jadwal ini terlihat adanya jeda cukup panjang antara penutupan pendaftaran dan seleksi administrasi. Namun pada saat yang seharusnya sudah dilakukan penutupan pendaftaran (3 Maret), ternyata balon sudah >5 orang atau lebih tepatnya 10 orang. Lalu sidang pleno pada tanggal 3 Maret memutuskan adanya perpanjangan pendaftaran, dengan alasan kurangnya sosialisasi dari PAH dan MWA kepada civitas akademika. Nah lho! Sehingga jadwalnya berubah seperti ini:

23 Februari – 10 Maret 2012        Pendaftaran dan penjaringan bakal calon (balon) rektor,
10 Maret 2012                               Seleksi administrasi oleh PAH

  Keganjilan akan kita lihat di mana batas akhir pendaftaran dan seleksi administrasi tidak ada jeda hari. Hal ini nampak sangat membatasi kita untuk mengetahui balon sebelum harus diadakan Seleksi administrasi. Dugaan ini bisa saja salah. semoga!

  Perlu kita ketahui bersama juga, Mendikbud sebagai pemegang 35% suara untuk PilRek akan memilih calon rektor yang diinginkan oleh sebagian besar MWA, artinya beliau akan menjadi orang yang terakhir memilih. Sehingga untuk PilRek kali ini suara Mendikbud bisa kita abaikan sementara. Tinggal mencoba menganalis MWA yang lainnya (selain rektor UGM).  

  Kawan-kawan, terus terang saya gelisah atas semua keganjilan ini. Sungguh sulit mencari pihak mana yang benar, semua nampaknya punya definisi sendiri-sendiri soal kebenaran. Hal nyata yang saya temukan adalah adanya pengaruh politis yang luar biasa dalam PilRek, entah itu mahasiswanya, MWA, atau civitas akademika lainnya yang terlibat. 

Semoga kawan-kawan bisa lebih kritis lagi menganggapi isu PilRek, rektor yang terpilih nanti akan memimpin universitas ini 5 tahun ke depan. Sangat berharap pilihan MWA jatuh pada orang yang tepat. (catrim)

No comments:

Post a Comment