Wednesday, June 23, 2010

UAS Day 2 (Cobalah untuk Saling Memaafkan)

Hari ini saya tidak ada ujian, jadi saya tidak bercerita tentang ujian. Tadi pagi ada suatu peristiwa yang mungkin layak saya sebut sebagai ujian, sebuah ujian kehidupan.

Pukul 9.30 saya mendatangi kampus salah satu fakultas di Universitas Gadjah Mada dengan mengendarai BLACKBERRY Black. Sepertinya nampak aneh jika saya mengendarai sebuah handphone. Ya, itu bukan merek handphone tetapi merek sepeda, karena keisengan penjual yang menempel stiker bertulisan BLACKBERRY di badan sepeda. Sepeda yang beberapa bulan lalu saya beli di pasar sepeda Pugeran. Sedikit bercerita, saya agak heran ketika membeli sepeda di sana saya ditawari sepeda-sepeda keren yang nampaknya masih baru. Apa mungkin seseorang sebegitu cepat bosannya langsung menjual sepedanya yang masih mulus. Atau penjualnya yang melakukan pencurian, dan bisa juga ada yang mencuri sepeda lalu menjualnya ke pasar sepeda. Entahlah, Wallahu’alam.

Sepeda Blackberry

Kembali pada cerita saya, saya ke fakultas tersebut untuk mengantarkan sertifikat Seminar Nasional “Transformasi Sampah sebagai Upaya Penyelamatan Bumi” (baca posting sebelumnya) kepada salah satu peserta. Saya masuk ke dalam fakultas itu, alur bisa kita lihat pada ilustrasi dan ini penjelasannya:

1. Saya masuk tanpa menghiraukan tulisan di pos keamanan, tulisannya “PARKIR AMBIL KARCIS” (kalau tidak salah), karena saya pikir sepeda tidak perlu mengambil karcis.

2. Satpam (S2) yang berada di jalur tempat keluar kendaraan memanggil saya dan saya mendatangi dia dan berhenti di samping pos. Dia menyuruh saya pindah ke jalur satunya mas dengan nada sedikit jengkel,”Sana mas!”.
Maksud hati ingin memutar sepeda tetapi saya sengaja mendorong sepeda ke arah depan. Tanganku langsung ditarik tapi tidak terlalu keras, dia berbicara agak keras,” Lewat sana!”

Bukannya saya bermaksud bandel tetapi karena saya tidak tahu kalau S2 menganggap saya ingin kabur, saya tetap mendorong sepeda ke arah depan. Kali ini dia menarik tangan saya lebih keras dan bicara dengan nada lebih keras,” Jangan lewat sana (pen: jalur keluar, maksudnya saya jangan mendorong ke depan)!”

“Oh.. Saya mau memutar lewat depan pak, saya pikir di sana ada jalan buat mutar,”Saya akhirnya berdalih dan agak kesal mendapat perlakuan kasar.
Dia masih berbicara dengan nada keras,“Mundur kan bisa!” .
Sedangkan satpam yang lainnya (S1) nampak menggerutu karena tingkah lakuku.


3. Akhirnya saya mengikuti titah sang S2 dengan memundurkan sepeda dan langsung ke jalur masuk dan mengambil karcis. Saat meninggalkan pos saya sempat berkata kepada mereka berdua dan dengan mencoba menjaga nada bicara saya,” Jangan pakai emosi pak”.


ilustrasi
Saya kesal mendapat perlakuan seperti ini, saya tahu saya memang salah karena tidak mematuhi peraturan. Tetapi bukan semata-mata ingin melanggar, saya tidak tahu ada aturan seperti itu. Setelah diberitahu, saya sebenarnya sudah ingin mematuhi peraturan tetapi kok malah dikasari seolah-olah saya ini anak kecil yang bandel. Ya sudahlah utuk sementara saya kembali pada tujuan awal saya, ingin menyerahkan sertifikat.

Setelah memarkir sepeda di lahan parkir, saya langsung ke gedung utama dan menunggu peserta seminar tersebut di depan gedung. Cukup lama saya menunggu di depan gedung itu, sambil menunggu saya berpikir apa yang saya lakukan saat keluar dari fakultas ini. Saya sempat berpikir untuk menulis kritik saya di secarik kertas lalu saya berikan kepada mereka. Saya juga terpikir jika saya sudah menyerahkan karcis parkir saya segera pergi dan tanpa tersenyum. Pikiran-pikiran setan yang lain masih terus berusaha mempengaruhi pikiran saya.


Saya coba menghalau setan-setan yang bergelayutan di sekitar saya. Saya coba untuk khusnul zhon dan mengambil sisi positifnya. Saya berpikir wajar saja satpam bertindak seperti itu karena saya sudah melanggar aturan yang ada dan satpam-satpam itu bertugas untuk menindak para pelanggar aturan yang telah diberlakukan. Saya juga kembali menerawang peristiwa berbulan-bulan yang lalu, ketika saya harus kehilangan sepeda saya di Fakultas Kehutanan, fakultas saya. Saya seharusnya merasa bersyukur ada satpam yang sangat tegas untuk menjaga keamanan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Terus terang ketika di fakultas kehutanan tidak ada satpam yang bertanggung jawab untuk masalah kehilangan sepeda dan tidak ada pemberlakuan karcis untuk sepeda. Mungkin saja S1 dan S2 menganggap saya orang yang berniat jahat, sehingga harus dicegah jangan sampai terjadi.


Lega rasanya jika kita bisa mengambil sisi positif dari suatu peristiwa, dibanding terus-terusan mencoba mencari kesalahan-kesalahan orang, hanya membuat muka kita makin terlipat dan cepat tua. Lalu apa yang akan saya lakukan ketika keluar menyerahkan karcis? Tidak lama ada Hariawan keluar dari gedung, teman yang satu daerah saya yang kebetulan baru selesai melaksanakan ujian di gedung itu. Sambil menyodorkan sertifikat saya bertanya kepada Hariawan,”Wan.. kenal orang yang namanya ini?”
“Gak tau hair,” jawab Hariawan sambil memegang dan memperhatikan nama pada sertifikat itu. Setelah Amen, temannya, keluar mereka lalu pergi meninggalkan saya. Saya masih sabar menunggu orang yang saya cari. Tidak lama kemudian ada seorang wanita yang keluar dari gedung dan menghampiri saya, ”Mas yang mau ngasih sertifikat ya?” kata orang itu. “Iya mbak, maaf ya telat ngasihnya, terima kasih ya mbak saya pergi duluan,” Saya memberikan sertifikat itu dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Lega rasanya jika sudah menyerahkan sertifikat itu, seakan-akan ada beban yang hilang dari pundak ini. “Gak papa, terima kasih mas,” dia nampak sedang melihat tampilan sertifikat, mungkin juga untuk memastikan apakah namanya sudah tertulis dengan benar atau belum.

Saya segera ke lahan parkir untuk mengambil sepeda dan meninggalkan fakultas ini. Saya sudah tahu apa yang akan saya lakukan ketika tiba di pos keamanan.
Saya menyerahkan karcis kepada S2, sambil tersenyum saya bilang,” Maaf ya mas tadi saya gak tahu ada aturan gini, saya dari Kehutanan baru pertama kali ke sini.”
“Gak papa mas,” Kedua satpam (S1 dan S2) tersenyum sumringah sambil menyambut tangan saya untuk bersalaman erat. Raut muka mereka nampak sangat bersahabat.

Lega dan senang sekali rasanya bisa melakukan tindakan ini. Semuanya terasa indah ketika kita melupakan segala macam kesalahan dan saling memaafkan satu sama lain. Inilah yang mungkin layak dinamakan Win Win Solution. Saya senang mereka berdua juga dengan lapang dada menerima permintaan maaf saya. Alangkah tidak enaknya jika saya memilih untuk menyimpan dendam kepada mereka, pasti saya sendiri yang akan pusing.


Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah memberikan hidayah ini.


Wallahu'alam bis shawab

No comments:

Post a Comment