Friday, January 6, 2012

Hati-hati dengan Kebebasan yang "Kebablasan" (Book Review)


Bahaya yang mengintai umat Islam saat ini bukan lagi tentara-tentara yang memanggul senjata dan bom, bukan tank-tank dan pesawat tempur yang siap memborbardir, dan bukan pula senjata nuklir yang mampu memusnahkan puluhan ribu orang. Satu hal yang patut kita sadari, saat ini umat Islam sedang digempur dengan sadis oleh pemikiran musuh-musuh Islam yang tidak akan rela umat Islam memperoleh kejayaannya kembali. Itulah yang dinamakan dengan GHAZWUL FIKR atau PERANG PEMIKIRAN.

Novel berjudul “KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat” ini ditulis oleh Adian Husaini bercerita tentang santri dari Madiun yang tergoda untuk mencicipi pemikiran-pemikiran baru yang bernama Islam Liberal. Kemi namanya, santri yang dikenal cerdas dan menjadi andalan Kyai Rois ini, memilih untuk meninggalkan pesantren dengan alasan ingin mengembangkan keilmuannya di bangku kuliah. Keputusan ini tentu sangat mengagetkan Kyai Rois dan Rahmat, namun mau tidak mau mereka harus merelakan kepergian Kemi kuliah di ibukota. Rahmat adalah sahabat Kemi yang juga menjadi andalan Kyai Rois karena kecerdasannya dalam ilmu agama.

Kemi sudah terlanjur memasuki dunia baru, di mana dia telah menyelami pemikiran-pemikiran yang jauh berbeda dengan apa yang dia peroleh dari kitab-kitab kuning di pesantren. Kebebasan telah membutakan matanya, ajaran-ajaran di pesantren dianggapnya kolot dan berpikiran terhadap sempit terhadap  ajaran Islam itu sendiri. Kemi sangat bangga dengan Islam liberal. Menurut Kemi, Islam liberal adalah Islam yang membebaskan, yaitu membebaskan dari kejumudan, kekolotan, kekakuan, kefanatikan, dan kesempitan berpikir, seperti yang banyak terjadi pada beberapa kelompok Islam sekarang ini yang berpikiran sempit. Mereka mengemas paham-paham rusak yang bertentangan dengan ajaran Islam dengan kata-kata indah macam pluralisme, humanisme, multikulturalisme dan isme-isme lain sehingga banyak umat Islam yang tertipu dan terpengaruh.

Kyai Rois dan Rahmat memandang ada yang tidak beres dengan Kemi, apalagi dia telah menjadi aktivis yang tangguh dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam liberal yang menyesatkan melalui pelatihan kepada santri-santri. Berangkat dari tantangan Kemi yang menganggap ke-Islaman seseorang akan berubah bergantung dengan lingkungannya ─seperti Kemi yang berubah karena bergaul dengan orang dari berbagai agama─ serta keinginan tulus dari Rahmat untuk menyadarkan Kemi kembali ke jalan yang benar, Rahmat pun bertekad untuk memasuki dunia Kemi yang baru.

Pertaruhan ini bukanlah tanpa risiko. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Kemi bisa berhenti dari aktivitasnya yang menyesatkan umat dan kembali lagi ke pesantren atau dia ikut-ikutan tersesat ke dalam pusaran kelompok Kemi dan kawan-kawan. Dalam benak Rahmat, Kyai Rois mungkin akan sangat berat melepas kepergian Rahmat. Namun Kyai Rois percaya dan sudah seharusnya mereka segera bertindak, maka Rahmat mulai dilatih dengan berdiskusi banyak bersama Kyai Rois serta mendapat tugas untuk membaca sekaligus meresensi buku-buku yang ditulis oleh pemikir-pemikir liberal. Rahmat menerapkan PTT (Pantang Tolak Tugas), meskipun hal tersebut bukanlah hal yang ringan.

Dalam perjuangan untuk menyelamatkan Kemi yang sudah kelewat batas, Rahmat juga bertemu dengan Siti─anak salah satu pemilik pondok pesantren di Jawa Barat. Dalam pandangannya Siti agak berbeda dengan aktivis liberal yang lain. Perkataan Siti yang menjadi momok dalam pikiran Rahmat adalah bahwa Siti mengakui bahwa dia dan Kemi adalah korban dan memperingatkan Rahmat agar berhati-hati.

Apa maksud perkataan Siti? Apa itu Islam liberal? Apakah Rahmat akan kalah dalam pertaruhan ini dan justru ikut bergabung dengan Kemi? Dan apa yang membuat Kemi serta banyak aktivis Islam liberal memiliki pemikiran semacam itu? Siapa yang berada di balik aktivis Islam liberal? Apa kelemahan-kelemahan pemikiran mereka? Temukan jawabannya dalam Novel “KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat” yang ditulis oleh seorang tokoh pakar pemikiran Islam yang juga menulis buku “Wajah Peradaban Barat” dan “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi”.

Dalam novel ini, Adian Husaini mencoba mengungkapkan sepak terjang aktivis-aktivis Islam liberal dan menunjukkan peran vital pondok pesantren yang harus dijaga agar tidak tercampuri pemikiran-pemikiran nyeleneh. Beliau juga menunjukkan bahwa pendapat-pendapat tokoh Islam liberal sangat mudah dipatahkan jika kita benar-benar teguh memegang ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Novel ini cukup bagus bagi saudara-saudara yang belum begitu mengenal paham Islam Liberal. Semoga saja dengan membaca novel ini kita bisa mengambil hikmah dan terus waspada dengan pemikiran-pemikiran yang berbahaya bagi keimanan kita sebagai Muslim. (catrim)

No comments:

Post a Comment