Sunday, October 7, 2012

Menguak Misteri Terbitnya PP 60 dan PP 61 2012


Dua peraturan pemerintah yang tidak kompatibel dengan semangat pembangunan hijau

oleh Petrus Gunarso, PhD*


ponton batubara melintasi Sungai Mahakam
(Ilustrasi-dok.pribadi)
Terbitnya PP 60 dan 61 2012 menyimpan beberapa misteri, paling tidak misteri itu dapat dilihat dari beberapa aspek: persepsi, substansi, tujuan,  proses, dan implikasinya. Dengan mengupas masing-masing aspek tersebut, maka akan terkuak pula misteri terbitnya PP 60 dan 61 tahun 2012 dan langkah-langkah serta solusi yang perlu diambil untuk mengurangi implikasi negatif dari kedua peraturan pemerintah tersebut. 

Secara umum, keluarnya dua peraturan pemerintah ini memunculkan pendapat akan adanya permainan persepsi. Persepsi tersebut adalah mengenai istilah pinjam pakai yang secara harfiah lebih mudah diterima orang awam dibanding pelepasan kawasan hutan. Kebetulan sekali memang PP 60 itu berkait erat dengan pelepasan kawasan hutan menjadi penggunaan lain. PP 60, 2012 ini adalah PP yang merubah PP 10 tahun 2010 tentang Tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Sedangkan PP 61, 2012 adalah PP yang mengatur perubahan PP No. 24 tahun 2010, tentang Penggunaan Kawasan Hutan. PP ini secara umum melakukan pengaturan pinjam pakai kawasan hutan untuk 'tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan'.


Jika kawasan hutan dipinjam pakai (diatur dalam PP 61, 2012) untuk 13 macam kepentingan dari kepentingan untuk religi, pertambangan, sampai ke pertanian khusus untuk ketahanan pangan dan energi - toh nanti suatu saat akan kembali atau dikembalikan menjadi kawasan hutan. Sedangkan untuk pelepasan kawasan hutan (yang diatur dalam PP 60, 2012) - yang akan terjadi adalah hilangnya atau berkurangnya sejumlah kawasan hutan menjadi kebun, lahan pertanian, pemukiman, dsb. Dengan kata lain, luas kawasan hutan akan berkurang. Untuk pinjam pakai, tidak akan mengurangi luas kawasan hutan - karena masih ada harapan yang dipinjam pakai tadi akan kembali menjadi kawasan hutan. 

Sayangnya, persepsi yang dibangun ini melupakan semangat pembangunan ekonomi hijau yang kini sedang gencar-gencarnya dipromosikan! Betapa tidak, karena pada dasarnya pinjam pakai yang terbanyak dan terluas saat ini adalah untuk kegiatan pertambangan - dalam hal ini batubara. Pertambangan batubara ini selain bersifat tidak terbarukan non- renewable, juga menimbulkan emisi CO2 baik di tempat penambangan maupun saat bahan tambang tersebut dibakar di tempat lain. Ingat kita dalam satu bumi, jadi kalau batubara dibakar di China atau India  - maka CO2 yang ditimbulkan juga akan mencemari bumi atau menjadi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.

Berbeda dengan pinjam pakai, pelepasan kawasan hutan memang akan mengurangi luas kawasan hutan, tetapi jika yang dilepas adalah wilayah yang terdegradasi dan kemudian ditanami - misalnya dengan kelapa sawit atau karet - maka yang terjadi adalah penyerapan CO2 oleh tanaman sawit atau karet dalam jangka panjang. Jadi dalam hal keberpihakan pembangunan secara umum, sebenarnya pelepasan kawasan hutan lebih 'hijau' dibandingkan dengan 'pinjam pakai kawasan hutan'. Memang, setelah dipinjam pakai kawasan hutan akan direklamasi dan dikembalikan dalam keadaan 'seperti aslinya', tetapi di dalam kenyataan di lapangan - hal itu jarang sekali terjadi. Yang terjadi adalah sebaliknya, tambang-tambang itu meninggalkan lubang-lubang raksasa yang sangat sulit untuk dihutankan kembali.

Aspek Substansi
Dari aspek substansi hukum, paling tidak dapat dilihat dari sisi 'waktu' dan 'kewenangan'. Dari sisi waktu, nampaknya yang menonjol dalam PP ini adalah pengaturan aktifitas yang bersifat retroaktif. Menurut pakar hukum yang penulis hubungi, PP tidak bisa mengatur kegiatan secara retroaktif. Jadi secara substantif PP ini tidak boleh mengatur aktivitas yang telah berlangsung jauh ke belakang - dalam hal ini pemberian ijin yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2007. 

Dari sisi kewenangan atau kekuatan sebuah peraturan pemerintah, juga tidak diperkenankan memilih aturan yang diacu dan menetapkan sebuah kegiatan dengan aturan hukum lain - secara khusus.  PP ini hanya mengakui UU26/2007 tetapi tidak secara ekplisit mengakui dan memperhatikan undang-undang sebelumnya yaitu UU 24/1992 yaitu UU tentang Tata Ruang.

Tujuan Perubahan
Apa sebenarnya tujuan utama dari perubahan PP 10 dan PP 24 tahun 2010 menjadi PP 60 dan PP 61, 2012 tersebut? Dari konsideran PP 60, 2012 dan PP 61, 2012 dapat dibaca bahwa tujuan revisi atau perubahan PP ini adalah 'memberikan kepastian hukum' atas keterlanjuran ijin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten atau propinsi.  Kepastian hukum tadi ditujukan untuk siapa? Semestinya kepastian hukum harus diberikan kepada perusahaan milik negara dan juga kepada swasta. Tetapi tidak kalah pentingnya memberikan kepastian hukum bagi masyarakat atau rakyat dalam penguasaan lahan.

Melihat pengaturan yang demikian rigit dalam kedua PP ini, nampaknya keberpihakan pemerintah masih belum beranjak dari memberikan kepastian hukum bagi pengusaha dan BUMN, dan kurang memberikan perhatian kepada rakyat kecil yang juga memerlukan kepastian hukum atas penguasaan lahan mereka. Pengaturan untuk selambat-lambatnya mengajukan permohonan kepada pemerintah memberi peluang hanya kepada swasta dengan modal besar dan tidak mungkin bagi masyarakat kecil.

Jika dicermati, ternyata ada perbedaan mencolok antara perlakuan pada PP 60 dan PP 61. Perbedaan perlakuan ini boleh jadi didasarkan pada persepsi yang dibangun seperti tersebut di atas, yaitu bahwa pinjam pakai lebih baik bagi Kementerian Kehutanan dibanding pelepasan kawasan hutan. Oleh karena itu dalam PP 61, dalam rangka pinjam pakai diberikan kemudahan dan jaminan lebih pasti dibanding dengan PP 60. Pada PP 61 diberikan waktu 6 bulan untuk mengajukan permohonan bulan dan diberikan jaminan paling lama 6 bulan ijin pinjam pakai akan dikeluarkan, jika semua persyaratan permohonan dipenuhi.

Sedangkan pada PP 60, waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan pelepasan diberikan sama selama 6 bulan, tetapi pemohon harus menyediakan lahan pengganti selambat-lambatnya dalam 2 tahun sejak diberikan persetujuan pelepasan kawasan. Lahan pengganti itupun harus mencapai dua kali luasan, jika hutan di wilayah daerah aliran sungai, pulau atau propinsi  di mana perusahaan itu berada kurang dari 30% dan jika lebih dari 30% maka hanya diminta untuk menyiapkan lahan pengganti seluas wilayah yang dimohon untuk pelepasan.  Bisa dibayangkan betapa sulitnya bagi pengusaha karet atau kelapa sawit dalam mencari lahan pengganti ini.

Proses
Melihat ringkasnya isi dari PP 60 dan 61 tahun 2012, nampaknya proses pembahasannya bersifat kilat dan kurang melibatkan para pihak. Kemungkinan besar, pembahasan ke dua PP tersebut hanya melibatkan para birokrat dan para pengusaha - dan dalam hal ini pengusaha tambang yang lebih dominan. Memang, secara kebetulan pengusaha yang tergabung dalam KADIN antara pertambangan dan kehutanan kini cukup mesra dan berada dalam satu komisi tetap di dalam organisasi KADIN. Mungkin ini hanyalah sebuah kebetulan, tetapi memang sebuah kebetulan yang menguntungkan bagi pengusaha pertambangan.

Berbagai komentar negatif dari LSM dan perguruan tinggi serta pengamat juga membuktikan proses pembahasan dua peraturan pemerintah ini yang kurang transparan. Di dalam jejaring sosial khusus untuk para rimbawan, komentar negatif atas ke dua PP ini terutama adalah adanya pemaknaan bahwa ke dua PP tersebut merupakan sebuah upaya pemutihan - impunitas. Bahkan muncul pula di harian nasional  di mana WALHI menyatakan bahwa ke dua PP tersebut menunjukkan atau menjadi bukti ketidak mampuan Kementerian Kehutanan mengelola kawasannya (Kompas, 9 Agustus 2012). 

Lebih jauh dari itu, nampaknya ada pula upaya untuk melakukan uji materi atas substansi dari ke dua PP tersebut, tetapi belum jelas oleh pihak mana uji materi itu diajukan. Tidak jelas pula apa alasan pokok dari uji materi tersebut. Jika kegiatan pertambangan sangat diuntungkan oleh PP 61, tentu bukan dari kelompok ini yang mengajukan uji materi. Untuk kelompok yang dirugikan, mungkin adalah para pengusaha perkebunan atau perwakilan masyarakat.

Implikasi
Aspek terakhir adalah implikasi atas terbitnya ke dua peraturan pemerintah terhadap kepastian hukum itu sendiri dan terhadap upaya Kementerian Kehutanan dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. 

Apakah kedua peraturan pemerintah tersebut menyelesaikan masalah dan memberikan kepastian hukum? Rasanya tidak sepenuhnya benar - karena masalah utama di lapangan adalah adanya ketimpangan penguasaan lahan oleh swasta yang jauh lebih besar dibanding yang dikuasai oleh masyarakat petani (Majalah Persaki 2012). Jelas kedua PP tersebut tidak memberikan ruang lebih besar bagi masyarakat untuk menikmati kebijakan pemerintah dalam PP ini - terutama mengingat waktu yang diberikan sangatlah terbatas. 

Implikasi positif yang sangat nyata justru muncul dari PP 61 kepada perusahaan pertambangan. Selain mereka mendapatkan ijin pinjam pakai menggunakan kawasan hutan produksi sampai dengan 10% dari total luas hutan produksi yang konon berjumlah 64 juta hektar, ditambah lagi dengan pinjam pakai yang sudah terlanjur diberikan ijinnya oleh pemerintah propinsi dan kabupaten.

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah mengapa Kementerian Kehutanan demikian memanjakan perusahaan pertambangan. Ada apa di balik kebijakan ini? Sebagai sebuah kementerian yang seharusnya mewujudkan kelestarian pemanfaatan hutan dan menyediakan kebutuhan kayu bagi pembangunan nasional, kementerian ini justru sibuk melakukan moratorium penebangan dan pemberian ijin pengusahaan hutan - tetapi rajin meminjam pakaikan kawasannya kepada perusahaan pertambangan. Tidak heran kalau ada kelakar bahwa Kementerian Kehutanan itu perlu diubah menjadi kementerian peminjaman kawasan hutan untuk pertambangan. 

Kesimpulan
Kementerian Kehutanan seyogyanya lebih berpihak kepada rakyat yang sangat terbatas aksesnya terhadap sumberdaya lahan. Jika PP 60 mengharuskan siapa saja yang akan menggunakan kawasan hutan harus menyediakan lahan pengganti - maka jelas tertutup bagi masyarakat untuk mendapatkan akses lahan. Karena yang punya akses hanya pengusaha besar - maka ketimpangan penguasaan lahan ke depan akan semakin memprihatinkan. Peraturan pemerintah yang dibutuhkan adalah peraturan yang menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 Jika proses tukar-menukar kawasan berjalan mulus, yang sering menjadi masalah adalah pemeliharaan dan pengelolaaan lahan pengganti yang biasanya terlantar atau tidak jelas pemangkunya. Yang lebih sulit dibayangkan adalah dari mana sajakah lahan pengganti itu berasal? Jika para pengusaha dapat menyediakan lahan pengganti seluas 2 kali luas yang diperoleh saat ini, bukankah lebih baik mereka menanam kebunnya di tempat itu dan mengembalikannya lahan yang sudah ditanami ke Kehutanan?

Dari sisi pembangunan rendah karbon dan pembangunan yang memperhatikan perubahan iklim yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan termasuk batubara - maka kebijakan yang ditunjukkan oleh kedua PP tersebut di atas jelas tidak kompatibel. 
Sudah saatnya Kementerian Kehutanan melakukan reorientasi kegiatannya dari rejim perijinan kawasan hutan menuju pada rehabilitasi hutan, restorasi hutan dan lahan, penyediaan kayu untuk keperluan pembangunan nasional dan meneruskan upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang disuarakan dengan gegap gempita di Bali pada bulan Desember tahun 2007.
Semoga!

Bogor, 28 Agustus 2012


*Ketua Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia

No comments:

Post a Comment