Tuesday, March 19, 2013

Sampai Kapan Kayu Akan Terus Ada?

Sebuah kengerian diungkapkan oleh Ibu Angela Sita Revuelta ketika angka illegal logging semakin menanjak pasca reformasi. Penulis dan beberapa rekan mendapat kesempatan mewawancari beliau terkait perusahaan yang dipimpinnya—PT. Ide Studio Indonesia. Perusahaan tersebut bergerak dalam kegiatan pengolahan kayu daur ulang jati (biasanya dari pembongkaran rumah) menjadi produk-produk furnitur memiliki nilai jual tinggi. Awalnya penggunaan kayu daur ulang sebagai bahan baku utama didasari oleh keunikan dan keindahan dari penampakan kayu daur ulang. Namun, saat ini justru bahan baku tersebut yang menjadi nilai yang dikedepankan oleh PT. Ide Studio Indonesia sebagai wujud kepedulian terhadap kelestarian hutan. Tulisan ini akan sedikit membahas mengenai permasalahan bahan baku kayu dalam rangka memenuhi kebutuhan industri.


Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak dahulu manusia memanfaatkan hutan untuk dieksploitasi kayunya. Berbagai peradaban yang muncul tenggelam menjadikan kayu sebagai sumber daya alam yang penting guna membangun peradaban, seperti peradaban di Mesopotamia, Persia, dan Romawi. Manfaat kayu yang beragam menjadikannya tetap penting hingga saat ini, bahkan semakin banyak derivat-derivat produk yang berasal dari kayu. Dulunya kayu hanya digunakan sebagai perkakas, sumber energi, transportasi (misalnya kapal), ataupun untuk membangun rumah. Bandingkan dengan kondisi saat ini, kertas, baju, tisu, bungkus makanan, popok bayi, benda seni, berbagai jenis bahan kimia penting, dan masih banyak lagi, semua diproduksi dari kayu. Permintaan kayu belum akan menurun sampai ada material-material lain yang dapat menggantikan semua fungsi kayu. Believe it or not? Se-“idealis” apapun manusia, jika masih menggunakan kayu dalam menjalani kehidupannya maka tidak bisa menapikkan bahwa eksploitasi kayu—tentunya dengan bijaksana—memang masih harus dilakukan.

Di Indonesia, saat era Orde Baru banyak industri-industri kayu yang lahir yang banyak mengekspoitasi hutan alam di luar Jawa. Sektor kehutanan menjadi sektor favorit dikarenakan pendapatan yang menjanjikan. Kayu bahkan sempat menempati posisi ketiga sebagai penyumbang devisa terbesar bagi negara setelah batubara dan migas. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan di masa Orde Baru sebagian di antaranya merupakan sumbangan-sumbangan dari sektor kehutanan. Itulah masa lalu negeri ini ketika kekayaan hutan masih melimpah. 

Peningkatan kapasitas industri yang tidak diimbangi dengan upaya pembangunan hutan yang memadai ternyata berdampak tidak baik. Ketersediaan bahan baku terus menurun. Hal ini diperparah dengan kegiatan illegal logging yang menyebabkan kondisi hutan menjadi sangat memprihatinkan dan merugikan negara dalam jumlahnya yang sangat besar. Kapasitas industri yang besar tanpa bahan baku yang memadai menjadi permasalahan yang serius. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya perusahaan perkayuan yang akhirnya gulung tikar.

Untuk mengerem laju eksploitasi hutan alam, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) pun dilakukan guna tetap mendapatkan pasokan bahan baku kayu. Sebuah usaha yang tidak dapat dikatakan solusi terbaik untuk pemenuhan bahan baku. Hakikatnya hutan tanaman, pasti akan menyebabkan struktur hutan menjadi homogen yang tidak begitu baik untuk keberlangsungan aspek ekologi di hutan. Biodiversitas yang menurun, kemungkinan terjadinya erosi semakin besar, rentan terhadap penyebaran hama dan penyakit. Selain itu jenis yang digunakan pun adalah jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang biasanya bukan merupakan spesies asli di kawasan itu. HTI dapat menyuplai pasokan bahan baku untuk industri yang saat ini terus digenjot, yaitu pulp dan kertas.Nampaknya memang ada tuntutan dari konsumen agar industri pulp dan kertas menggunakan bahan baku dari HTI. Setidaknya adanya HTI bisa mengurangi eksploitasi hutan alam, walaupun tidak 100% terhenti.

Kita tengok juga keadaan hutan tanaman di Jawa. Perhutani tak lebih beruntung dalam mengelola hutan tanaman. Berkaitan dengan penyediaan bahan baku kayu,tegakan-tegakan yang mendominasi di hutan-hutan tanaman Perhutani adalah tegakan yang memiliki kelas umur (KU) muda. Pengalaman pribadi penulis saat praktek umum di salah satu RPH (Resort Pemangkuan Hutan) di Randublatung menunjukkan bahwa sangat sedikit tegakan KU tua yang ada di RPH tersebut. Makin mudanya tegakan yang ada, nantinya akan berefek pada daur tebangan yang makin pendek. Entah sampai kapan hutan tanaman di Perhutani bisa bertahan. Sedangkan untuk Jati Plus Perhutani yang mulai ditanam tahun 2000an belum dapat dipastikan apakah bisa menjadi salah satu solusi dalam rangka memenuhi permintaan bahan baku. 

Hutan berbasis kemasyarakatan (biasa juga disebut social forestry atau kehutanan sosial) pun belakangan mulai dilirik sebagai respon terhadap pemecahan problem kemiskinan dan upaya pelestarian hutan. Dalam sebuah diskusi, Pak Herry Santoso (penggiat LSM) memaparkan bahwa setelah bergantinya Orde Baru menjadi Reformasi orientasi pengelolaan hutan yang sebelumnya lebih condong ke hutan negara berubah menjadi hutan berbasis kemasyarakatan. Namun kenyataannya hal ini hanyalah sebatas retorika dikarenakan perizinan yang tidak mencapai target. Birokrasi di Indonesia yang terdiri dari “banyak meja” menjadikan waktu untuk memperoleh izin semakin lama. Potensi kayu yang berasal dari hutan berbasis kemasyarakatan memang tidak bisa dianggap remeh karena bisa melampaui potensi kayu yang dapat dihasilkan dari hutan negara yang dikelola Perhutani. Selain itu ada dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Semoga pembangunan hutan berbasis kemasyarakatan tidak lagi sebatas retorika.

Harapan-harapan lainnya untuk bahan baku perkayuan adalah inovasi-inovasi dari pengembangan IPTEK. Para peneliti dan akademisi di perguruan tinggi mengembangkan berbagai cara guna meningkatkan kemampuan hutan untuk menyediakan bahan baku kayu. Mulai dari riset aspek silvikultur hingga pada efisiensi penggunaan bahan baku telah banyak dilakukan. Namun sudah sejauh manakah hasil riset tersebut diimplementasikan di lapangan? Inilah yang menjadi pertanyaan penting. Nampaknya ada mata rantai yang terputus, para peneliti dan akademisi sibuk dengan dunianya sendiri begitupula dengan para praktisi perkayuan. Sehingga inovasi-inovasi yang dihasilkan menjadi sia-sia, dan permasalahan-permasalahan di lapangan tidak dapat terselesaikan. 


Tulisan singkat ini bukan dimaksudkan untuk membuat kita pesimis terhadap kondisi kehutanan di tanah air. Tetapi hanya ingin membuka mata kita bahwa beginilah realita yang ada. Kita tak dapat menghindar dari permasalahan-permasalahan yang ada, justru kita lah yang menjadi tumpuan harapan untuk memperbaiki kondisi hutan kita. Permasalahan pemenuhan bahan baku kayu hanyalah sedikit dari permasalahan di bidang kehutanan. Teringat lagi perkataan Ibu Angela Sita Revuelta saat dia bercerita tentang pendapatnya mengenai kondisi di hutan yang berada di pinggir jalan raya Blora-Cepu yang semakin gersang, “Anak cucu kita besok yang kena dampaknya.”

No comments:

Post a Comment